Senin, 31 Maret 2014

Mitigasi-Kesiapsiagaan sebagai Hasil Adaptasi


Mohamad Mambaus Su'ud, M.Sc
(Master of Disaster Management)

Sebagai upaya dalam menghadapi bencana, setiap individu maupun masyarakat mengembangkan kapasitas dengan berbagai sistem penyesuaian dalam merespon ancaman. Respon itu bersifat jangka pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau dalam jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism). Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar yaitu keamanam, sandang, dan pangan, sedangkan mekanisme jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber–sumber kehidupannya. Prinsip kehati-hatian dimulai dari mencermati setiap bagian kegiatan yang berpotensi menjadi ancaman terhadap keberadaan aset penghidupan dan jiwa manusia. Ancaman tersebut perlahan-lahan maupun tiba-tiba akan berpotensi menjadi sebuah bencana, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta benda dan lingkungan. 

Untuk mengurangi ancaman dilakukanlah upaya mitigasi (mitigation), yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Terdapat dua bentuk mitigasi, yaitu mitigasi struktural berupa pembuatan infrastruktur untuk minimalisasi dampak, serta mitigasi non struktural berupa penyusuan peraturan-peraturan, pengelolaan tata ruang dan pelatihan. Usaha-usaha di atas perlu didukung dengan upaya kesiapsiagaan (preparedness), yaitu melakukan upaya untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan siap siaga. Misalnya penyiapan sarana komunikasi, pos komando dan penyiapan lokasi evakuasi. Usaha kesiapsiagaan juga dapat dilakukan penguatan sistem peringatan dini (early warning system), yaitu upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi.

Dalam konteks yang lebih luas, mitigasi maupun kesiapsiagaan sebenarnya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana. Mitigasi dan kesiapsiagaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat merupakan wujud akumulasi pengalaman atau relasi masyarakat dengan alam, yang kemudian menjadi pengetahuan dan prinsip berperikehidupan masyarakat lokal secara turun temurun (Maarif, dkk, 2012). Memang hal tersebut seringkali tidak disadari atau kurang menjadi perhatian utamanya oleh pemerintah, sehingga kebanyakan kegiatan yang diagendakan untuk mitigasi dan kesiapsiagaan merupakan rumusan dari kalangan birokrat, dan bukan pengembangan yang bersumber langsung dari masyarakat.
Saat ini banyak penelitian yang mengetengahkan kontestasi dan pemaknaan kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan lokal (local knowledge) sebagai bentuk mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat. Kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan lokal (local knowledge) yang berkembang di masyarakat secara turun-temurun ternyata bermakna sebagai bentuk mitigasi dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Seluruh pengetahuan tersebut bersifat dinamis, terus berubah, berkembang dan beradaptasi karena respon masyarakat pada perubahan lingkungannya. Meskipun pada masyarakat postmodern, kontestasi pengetahuan lokal tetap berlangsung.

Bila kita mempelajari masyarakat Jawa yang terkenal dengan kege-marannya yang suka hidup bergotong-royong. Kita akan mendapati bahwa masyarakat Jawa menjadikan gotong royong sebagai semboyan hidup dengan ungkapan: “saiyeg saekopraya gotong royong” dan “hapanjang-hapunjung hapasir-wukir loh-jinawi, tata tentrem kertaraharja. Semboyan-semboyan itu mengajarkan hidup tolong-menolong se-sama masyarakat atau keluarga. Masyarakat Jawa merasa dirinya bukanlah persekutuan individu-individu, melainkan suatu kesatuan bentuk “satu untuk semua dan semua untuk satu”. Dari gambaran tersebut, tak heran pula ada sebuah peribahasa “mangan ora mangan nek kumpul” yang mencerminkan budaya selalu ingin kumpul dengan lingkungan sosialnya (Wijayanti dan Nurwianti, 2010). Dalam konteks kebencanaan, prinsip gotong royong dalam kehidupan sehari-hari masyarakat merupakan bentuk kesiapsiagaan menghadapi bencana, yakni masyarakat Jawa mampu untuk menggalang/memobilisasi bantuan ketika suatu kondisi darurat terjadi ataupun membangun kembali (rehabilitasi dan rekonstruksi) pasca bencana. 

Sementara bagi masyarakat Sumatera khususnya di Simuelele, untuk menghadapi ancaman tsunami masyarakat lokal menyebut tsunami sebagai “smong”. Dalam ungkapan “smong” mengandung pesan bahwa ketika ada gempa besar yang diikuti surutnya air laut, masyarakat harus berlari menjauhi pantai dan menuju tempat yang lebih tinggi. Artinya ungkapan “smong” telah menjadi SOP (Standart Operating Procedure) dalam siap siaga menghadapi tsunami yang mampu turun temurun ke berbagai generasi.
Hasil penelitian Triyanan dan Wibowo (2011) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tentang pelaksanaan peraturan partisipatif masyarakat dalam penanggulangan bencana Gunung Merapi menunjukkan bahwa masyarakat Desa Srumbung memiliki metode-metode lokal dalam penanggulangan bencana Merapi 2010, penanggulangan tersebut dilakukan dengan cara-cara inisiatif, yaitu menghimpun dana swadaya masyarakat untuk membeli handy talky dan telepon seluler sebagai alat untuk melakukan komunikasi dan koordinasi sehingga kegiatan evakuasi pada masa tanggap darurat berjalan dengan optimal.
Selain itu, masyarakat Desa Srumbung menunjukkan kemampuan dalam melakukan pembagian tugas untuk pelaksanaan evakuasi dengan cara rembug (musyawarah) untuk mendata jumlah dan kepemilikan kendaraan angkut, selanjutnya dibuat job description (siapa berbuat apa, kapan, dan dimana). Ada lagi pembentukan LSM yang dimotori oleh Ibu Nuki, Nyai pondok pesantren Pabelan yang mampu menghimpun dana yang besar untuk membantu upaya rekonstruksi perumahan masyarakat, dengan persyaratan pembangunan dilakukan di tanah milik sendiri dan bukan merupakan zona bahaya.

Masyarakat yang memiliki pemahaman Islam yang kuat atau masyarakat yang menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan kesehariannya, biasanya telah memiliki pemahaman mitigasi dan kesiapsiagaan berbasis ajaran Islam. Karena dalam perspektif agama Islam bencana dilustrasikan dengan beberapa istilah yaitu mushibah, adzab, bala’, fitnah, ba’sa, su’, tahlukah (Zamroni, 2011). Mushibah merupakan petaka yang dapat dianggap sebagai hukuman atau cobaan, dapat memberikan efek negatif juga positif bagi yang mengalaminya, sedangkan adzab berarti hukuman yang yang ditujukan bagi mereka yang melanggar hukum Islam. Bala’ berarti penderitaan atau kesengsaraan yang bersifat ujian. Fitnah cenderung merujuk pada bencana non alam/bencana sosial/konflik sosial. Untuk menghindari segala bentuk bencana di atas, orang Islam harus berupaya meninggalkan segala larangan Allah SWT, dan melaksanakan segala perintah agama yang diimplementasikan baik dalam diri sendiri maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam konteks manajemen bencana, Islam telah mengajarkannya dalam Al-Quran melalui ayat-ayatNya seperti yang tertera pada gambar 2.1, masing-masing tahapan memiliki tahapan normatif di dalam ayat-ayat tersebut, karena sebenarnya Alloh SWT menguasai atas segala sesuatu di dalam jagad raya ini. Tinggal manusia mau merenungkan dan mempelajarinya ataukah tidak. Pemahaman tersebut telah terdoktrin dalam kehidupan umat Islam pada umumnya, maka dalam rangka mengimplementasikan dalam kehidupan berjama’ah (bersama) biasanya dilakukan ritual keagamaan seperti doa bersama, istighotsah, pengajian, yasinan, dll.

Gambar  Siklus penanggulangan bencana dalam perspektif Islam
(Zamroni, 2011)

Memang dalam masyarakat Islam setidaknya di Jawa, sosio agama selalu berkorelasi dengan sosio kultur masyarakat setempat. Korelasi sosio agama dengan sosio kultur dijelaskan oleh teori fungsionalisme yang memandang bahwa agama sebagai penyebab sosial yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, sistem sosial dan termasuk konflik sosial. Teori fungsionalisme agama juga memandang agama sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar dari karakteristik dasar eksistensi manusia meliputi: Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian; hal penting bagi keamanan dan kesejahteraan di luar jangkauannya. Kedua, kemampuan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya terbatas, dan pada titik tertentu kondisi manusia berada pada konflik antara keinginan dengan situasi lingkungan yang menyebabkan ketidakberdayaan. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat, di mana terdapat norma-norma agama yang tumbuh dalam masyarakat yakni tentang perbuatan dan ganjaran. Jadi, seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan. Agama juga dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut (Raharjo, 2007).

Kesimpulannya bahwa masyarakat di wilayah terancam bencana sebetulnya telah mampu memahami risiko yang mereka hadapi dan memahami apa yang harus mereka lakukan ketika bencana tersebut melanda, termasuk masyarakat Desa Poncosari. Apalagi dari 24 padukuhan yang ada, terdapat 5 padukuhan yang memiliki ancaman tsunami tinggi, yaitu Padukuhan Sambeng 2, bagian barat Padukuhan Babakan, Padukuhan Ngentak, Padukuhan Kwaru, dan Padukuhan Cangkring. Enam padukuhan berada pada ancaman tsunami sedang, yaitu Padukuhan Kukap, Padukuhan Koripan, Padukuhan Krajan, Padukuhan Jopaten, Padukuhan Bodowaluh, dan Padukuhan Karang. 13 padukuhan yang lain berada pada wilayah ancaman tsunami rendah. Meskipun begitu, tidak semua mitigasi dan kesiapsiagaan harus menggunakan ala masyarakat. Sehingga disini membutuhkan suatu sinergi antara masyarakat dengan pemerintah dalam membangun konsep mitigasi dan kesiapsiagaan yang baik.




DAFTAR PUSTAKA
Alpizar, 2008, Islam Dan Perubahan Sosial (Suatu Teori Tentang Perubahan Masyakarat), Paper, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Diposaptono Subandono, 2008, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, Bogor: PT Sarana Komunikasi Utama
Maarif Syamsul, dkk, 2012, Kontestasi Pengetahuan dan Pemaknaan Tentang Ancaman Bencana Alam (Studi Kasus Ancaman Bencana Gunung Merapi), Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012, hal. 1-13
Raharjo Shodiq, 2007, Konflik antara NU dan Muhammadiyah 1960-2002 (studi kasus Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta), Skripsi Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sunarto Kamanto, 1993, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Tashadi, dkk, 1982, Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Triyana Jaka dan Wibowo Andi, 2011, Pelaksanaan Peraturan Partisipasi dalam Penanggulangan Erupsi Merapi, Hasil Penelitian Fakultas Hukum UGM
UNISDR, 2005, Hyogo Framework for Action: Building Resilience of Nation and Communities to Disaster, Kobe: UNISDR
Uno Hamzah, 2006, Konsep Dasar Pembelajaran, Jakarta: PT. Bumi Aksara

Wijayanti Herlani, 2010, Kekuatan Karakter dan Kebahagiaan pada Suku Jawa,  Jurnal Psikologi Volume 3, No. 2, Juni 2010114
Yuniarti Kwartarini, 2012, Budaya Dan Perdamaian : Harmoni dalam Kearifanlokal Masyarakat Jawa Menghadapiperubahan Pasca Gempa, Humanitas, Vol. IX No.1 Januari 2012