A. ANALISIS MITIGASI BANJIR JAKARTA
Berdasarkan
UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Mitigasi didefinisikan
sebagai serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Berdasarkan definisi tersebut
maka mitigasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu mitigasi structural yang berupa
pembangunan secara fisik dalam rangka mengurangi risiko bencana. Dan mitigasi
non struktural yang meliputi penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi
bencana.
Menurut Lane dan Liin
dalam Ilyas (2006) terdapat 7 langkah yang perlu dilakukan dalam proses
mitigasi yang dijelaskan dalam diagram mitigation
planning process. Dimulai dari pengukuran risiko bencana sampai dengan
penyediaan dana untuk pembangunannya. Mitigasi pada langkah keempat dihentikan
jika risiko dapat diterima atau ditolerir. Jika tidak, rencana dilanjutkan hingga langkah ketujuh
yang merupakan prioritas dari proyek mitigasi yang diperlukan yaitu menyediakan
pendanaan untuk mewujudkan.
Gambar: Mitigation Planning Process (sumber:
Lane and Liin dalam Ilyas, 2006)
Pada
banjir Jakarta yang melanda setiap tahun dan banjir besar dengan siklus 5
tahunan sebenarnya telah diupayakan berbagai kegiatan mitigasi. Bahkan kegiatan
mitigasi telah dimulai semenjak zaman VOC yaitu dengan mengeruk sungai dan
membuat banyak kanal, pemerintah juga membangun pintu-pintu air. Selain itu,
dibangun pula bendungan dan situ untuk menampung dan mengendalikan air di
hulu-hulu sungai. Sedangkan untuk mengatasi banjir akibat luapan sungai
Ciliwung pemerintah VOC pada tahun 1920 membuat kanal banjir dengan pintu air
di daerah Manggarai. Air Ciliwung yang tadinya mengalir melalui daerah Cikini,
Gondangdia, lalu ke daerah Gambir, langsung digelontorkan ke kanal banjir barat
melalui Pasar Rumput, Karet, Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima,
Pluit, lalu ke laut. Belanda sudah merencanakan membuat dua kanal untuk memecah
aliran sungai Ciliwung ini. Sayangnya, kanal banjir timur belum sempat dibuat
oleh Belanda. Baru pada tahun 2003, pemerintah membuat kanal banjir timur
untuk mengurangi banjir di Jakarta.
Untuk periode sebelum tahun 2013,
saat gubernur DKI dijabat oleh Fauzi Bowo telah merencanakan pengurangan banjir
sebesar 40% pada tahun 2011, dan 75% pada tahun 2016. Pengurangan 40 % lokasi
banjir dilakukan melalui program pengerukan 13 sungai dan 56 saluran serta
Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat. Sedangkan target 35 persen untuk
tahun 2016 diharapkan akan tercapai melalui program pembangunan saluran terowongan
penghubung Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur, rehabilitasi waduk dan
situ yang ada serta pembangunan Waduk Pluit. Selain itu, pemerintah provinsi
DKI Jakarta saat itu, mengklaim bahwa sarana dan prasarana pengendalian banjir
di DKI Jakarta sudah sangat baik dan jumlahnya telah mencukupi. Jumlah pompa
air mencapai 303 unit dengan kecepatan menghisap air keluar yang cukup cepat.
Juga ada 19 waduk pengendali banjir yang tersebar di beberapa wilayah yang
mencakup daerah seluas 196,26 hektar, serta 26 situ yang mencakup daerah seluas
121,4 hektar. Selain perangkat kerasnya, Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga
telah menyiapkan personel sejumlah 931 orang yang siap turun kapan saja bila
diperlukan dan juga 51 posko piket banjir.
Namun
sayangnya pada periode tersebut segala bentuk rencana dan kegiatan tersebut
belum teruji, karena banjir besar baru datang pada tahun 2013 dimana baru saja
terjadi pergantian pemerintahan. Fakta banjir pada tahun 2013 lalu menunjukkan
kegagalan berbagai bentuk kegiatan dan rencana yang telah dilakukan oleh
pemerintah DKI Jakarta. Hal ini terjadi karena pemerintah belum sepenuhnya
menggariskan kebijakan bersifat mitigasi, baik structural maupun non
structural. Terbukti dengan lemahnya peraturan tentang IMB, dimana kegiatan
pembangunan masih marak terjadi di wilayah resapan air. Selain itu pemerintah
masih menerapkan pendekatan adaptif, dimana warga seakan diminta untuk
membiasakan diri dengan banjir. Akibatnya pemerintah tidak maksimal dalam
melaksnakan kegiatan mitigasi.
Untuk
itu, dalam melaksanakan mitigasi khususnya mengenai banjir Jakarta seharusnya yang
dilakukan saat ini adalah memperbanyak porsi untuk kegiatan mitigasi
non-struktural dengan mengedepankan partisipasi masyarakat secara aktif. Hal
ini dilakukan untuk mengimbangi berbagai upaya mitigasi structural yang telah
dilakukan dan yang sedang direncanakan pemerintah saat ini. Sehingga mitigasi
structural tidak sia-sia.
Adapaun
berbagai mitigasi non-struktural yang dapat dilakukan antara lain:
1. Meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam upaya pencegahan banjir dengan cara melakukan
pendidikan formal maupun non-formal atau berupa kampanye-kampanye intensif.
Kegiatan penyadaran tersebut meliputi, kedisiplinan warga dalam menjaga saluran
air maupun bantaran sungai dengan tidak membangun bangunan di bantaran sungai,
pembuangan limbah dan sampah di saluran air, dan sungai, dll.
2. Memperketat
regulasi dalam hal tata ruang dan IMB yang mana selama ini sering dilanggar.
3. Mengintregasikan
pengelolaan banjir antara hulu dan hilir, dalam hal ini yang menjadi wilauyah
hulu adalah Bogor dan hilirnya adalah DKI Jakarta sendiri. Sehingga kedua
pemerintah harus memeliki komitmen untuk sama-sama terlibat dalam pengendalaian
banjir.
4. Menggali
kearifan-kearifan local yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan mengintregasikan
program pemerintah dengan local knowledge
yang terdapat di masyarakat.
5. Menekan
pertumbuhan penduduk untuk menanggulangi banjir secara tidak langsung.
6. Pembuatan
rencana darurat banjir pada tingkat kelurahan.
Selain itu, terdapat pula
tindakan-tindakan berupa rancangan dan pengelolaan perkotaan yang dapat
diimplementasi dengan lebih cepat, seperti operasional dan pemeliharaan
infrastruktur; penghijauan di wilayah perkotaan; perbaikan drainase dan pengelolaan
limbah/sampah; dan rancangan gedung yang lebih baik dan perlindungan yang
tinggal pasang-bongkar. Hal ini memungkinkan wilayah-wilayah yang memiliki
risiko banjir dapat ditinggali, sambil mengurangi dampak bila terjadi banjir.
Dan yang terpenting lainnya adalah pembuatan jalur-jalur evakuasi yang memadai,
mengingat kejadian banjir 2013 menyebabkan berbagai jalan penghubung terputus,
sehingga warga kesulitan untuk melakukan evakuasi, selain itu sarana dan alat
evakuasi harus memadai seperti perahu karet, dll.
B.
ANALISIS
KESIAPSIAGAAN BANJIR JAKARTA
BNPB (2007) menyebutkan bahwa ”kesiapsiagaan
menghadapi bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang
tepat guna dan berdaya guna”. Kesiapsiagaan mengantisipasi banjir diperlukan
untuk meminimalisasi jumlah korban jiwa, jumlah kerusakan dan kerugian harta
benda, mengurangi penderitaan, dan mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi
pascabencana banjir. Mengadaptasi dari berbagai factor kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana, untuk bencana banjir dapat dikategorikan dalam beberapa
factor yaitu (1) pengkajian risiko banjir; (2) tata laksana koordinasi; (3)
pendidikan, pelatihan, dan gladi; (5) mekanisme tanggap darurat; (6) tata
laksana informasi; (7) keterkaitan antara rencana dan sistem di suatu kawasan;
(8) sistem peringatan dini; dan (9) mobilisasi sumberdaya.
Jika dinilai berdasarkan factor
tersebut, maka pelaksanaan kesiapsiaagan banjir di DKI Jakarta masih sangat
kurang. Meskipun beberapa factor yang telah diupayakan pemerintah DKI Jakarta
selama ini khususnya sebelum tahun 2013 telah dilakukan dalam rangka mambangun
kesiapsiagaan. Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah antara lain
dengan membangun sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini tersebut telah
dikoordinasikan dengan sumber informasi seperti Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) yang memantau terus pola dan kondisi cuaca di Jakarta.
Koordinasi juga dilakukan dengan pakar meteorologi, Dinas Hidro-Oseanografi TNI
AL, petugas pemantau ketinggian air di hulu di tujuh lokasi titik pantau dan partisipasi
masyarakat yang bersangkutan. Salah satu faktor yang penting dalam sistem
peringatan dini tersebutadalah informasi dari petugas pemantau ketinggian air
di hulu Jakarta, karena curah hujan di hulu ini merupakan salah satu dari tiga
faktor penentu terjadi tidaknya banjir di Jakarta. Kedua faktor lainnya adalah
curah hujan di Jakarta dan tingginya gelombang pasang di laut. Bila di hulu
sudah terjadi luapan air, luapan ini akan menjadi banjir kiriman ke kawasan DKI
Jakarta. Namun pada kenyataannya peringatan dini tidak difungsikan, sehingga
masyarakat yang terdampak banjir secara langusng tetap tinggi, bahkan telah
menelan korban jiwa hingga 40 jiwa.
Untuk itu perlu adanya peningkatan kesiapsiagaan
secara dini untuk mengantisipasi kejadian banjir yang akan dating, kegiatan
kesiapsiagaan dalam mengantisipasi banjir dapat merujuk berbagai kota di
berbagai Negara di antaranya:
1.
Perencanaan dan
pengelolaan keadaan gawat darurat, termasuk peringatan dini dan evakuasi, sebagai
contoh sistem pemberitahuan banjir di Filipina dan Lai Nullah Basin, Pakistan.
2.
Meningkatnya kesiagaan
melalui kampanye kesadaran sebagaimana didemonstrasikan di Mozambik dan Afghanistan.
Kesiapsiagaan termasuk prosedur pengelolaan penurunan risiko banjir perkotaan
seperti usaha untuk memelihara drainase tetap lancar melalui pengelolaan limbah
yang lebih baik.
3.
Menghindari banjir
dengan perencanaan penggunaan lahan seperti yang terdapat pada German Flood Act
dan regulasi-regulasi perencanaan di Inggris dan Wales. Perencanaan tata guna
lahan memberi kontribusi dalam mengatasi dan mengadaptasi terhadap banjir perkotaan.
4.
Mempercepat pemulihan
dan menggunakan proses pemulihan untuk meningkatkan ketahanan melalui perbaikan
disain bangunan dan konstruksi yang dikenal sebagai “membangun dengan lebih
baik.”
5.
Merencanakan ketahanan
rekonstruksi dari sebuah desa dapat dilihat pada desa yang terkena dampak
tsunami di Xaafuun, Somalia.Pembiayaan risiko yang sepadan bila tersedia, atau menggunakan
sumber-sumber donor dan pemerintah, dapat membantu pemulihan yang lebih cepat.
DAFTAR
BACAAN
______, 2013, Banjir Jakarta 2013, Jakarta: BPBD Provinsi DKI Jakarta
Harsa Hastuadi, 2011, Pemanfaatan Sataid untuk Analisa Banjir Dan Angin
Puting Beliung: Studi Kasus Jakarta Dan Yogyakart, Jurnal Meteorologi dan Geofisika
volume 12 Nomor 2 - September 2011: 195 – 205, BMKG: Jakarta
Jha K Abhas, dkk, 2011, Kota dan Banjir: Panduan Pengelolaan Terintegrasi
untuk Risiko Banjir Perkotaan di Abad 21, GFDRR
Manullag
Cheche, 2011, Analisa Data Spasial Wilayah
Banjir Dki Jakarta Berdasarkan Curah Hujan Berbasis Web Multimedia, Jurnal Penelitian Universitas Gunadarma
Santoso, Harry, 2012, Aplikasi SSOP Berbasis DAS untuk Penanggulangan
Banjir dan Tanah Longsor, Jurnal BNPB Volume 3 No. 1 Tahun 2012, Jakarta: BNPB
Sebastian Ligal, 2008, Pendekatan Pencegahan dan Penanggulangan Banjir,
Jurnal Dinamika Teknik Sipil, Volume 8, Nomor 2, Juli 2008 : 162 –
169, Universitas Sriwidjaja: Palembang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar