Selasa, 10 Februari 2015

ANALISIS MITIGASI DAN KESIAPSIAGAAN BANJIR JAKARTA


A.    ANALISIS MITIGASI BANJIR JAKARTA
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Mitigasi didefinisikan sebagai  serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Berdasarkan definisi tersebut maka mitigasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu mitigasi structural yang berupa pembangunan secara fisik dalam rangka mengurangi risiko bencana. Dan mitigasi non struktural yang meliputi penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi bencana.
Menurut Lane dan Liin dalam Ilyas (2006) terdapat 7 langkah yang perlu dilakukan dalam proses mitigasi yang dijelaskan dalam diagram mitigation planning process. Dimulai dari pengukuran risiko bencana sampai dengan penyediaan dana untuk pembangunannya. Mitigasi pada langkah keempat dihentikan jika risiko dapat diterima atau ditolerir. Jika tidak,  rencana dilanjutkan hingga langkah ketujuh yang merupakan prioritas dari proyek mitigasi yang diperlukan yaitu menyediakan pendanaan untuk mewujudkan.


Gambar: Mitigation Planning Process (sumber: Lane and Liin dalam Ilyas, 2006)

Pada banjir Jakarta yang melanda setiap tahun dan banjir besar dengan siklus 5 tahunan sebenarnya telah diupayakan berbagai kegiatan mitigasi. Bahkan kegiatan mitigasi telah dimulai semenjak zaman VOC yaitu dengan mengeruk sungai dan membuat banyak kanal, pemerintah juga membangun pintu-pintu air. Selain itu, dibangun pula bendungan dan situ untuk menampung dan mengendalikan air di hulu-hulu sungai. Sedangkan untuk mengatasi banjir akibat luapan sungai Ciliwung pemerintah VOC pada tahun 1920 membuat kanal banjir dengan pintu air di daerah Manggarai. Air Ciliwung yang tadinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia, lalu ke daerah Gambir, langsung digelontorkan ke kanal banjir barat melalui Pasar Rumput,  Karet,  Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima, Pluit, lalu ke laut. Belanda sudah merencanakan membuat dua kanal untuk memecah aliran sungai Ciliwung ini. Sayangnya, kanal banjir timur belum sempat dibuat oleh Belanda. Baru pada tahun 2003, pemerintah membuat  kanal banjir timur untuk mengurangi banjir di Jakarta.
Untuk periode sebelum tahun 2013, saat gubernur DKI dijabat oleh Fauzi Bowo telah merencanakan pengurangan banjir sebesar 40% pada tahun 2011, dan 75% pada tahun 2016. Pengurangan 40 % lokasi banjir dilakukan melalui program pengerukan 13 sungai dan 56 saluran serta Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat. Sedangkan target 35 persen untuk tahun 2016 diharapkan akan tercapai melalui program pembangunan saluran terowongan penghubung Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur, rehabilitasi waduk dan situ yang ada serta pembangunan Waduk Pluit. Selain itu, pemerintah provinsi DKI Jakarta saat itu, mengklaim bahwa sarana dan prasarana pengendalian banjir di DKI Jakarta sudah sangat baik dan jumlahnya telah mencukupi. Jumlah pompa air mencapai 303 unit dengan kecepatan menghisap air keluar yang cukup cepat. Juga ada 19 waduk pengendali banjir yang tersebar di beberapa wilayah yang mencakup daerah seluas 196,26 hektar, serta 26 situ yang mencakup daerah seluas 121,4 hektar. Selain perangkat kerasnya, Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga telah menyiapkan personel sejumlah 931 orang yang siap turun kapan saja bila diperlukan dan juga 51 posko piket banjir.
Namun sayangnya pada periode tersebut segala bentuk rencana dan kegiatan tersebut belum teruji, karena banjir besar baru datang pada tahun 2013 dimana baru saja terjadi pergantian pemerintahan. Fakta banjir pada tahun 2013 lalu menunjukkan kegagalan berbagai bentuk kegiatan dan rencana yang telah dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Hal ini terjadi karena pemerintah belum sepenuhnya menggariskan kebijakan bersifat mitigasi, baik structural maupun non structural. Terbukti dengan lemahnya peraturan tentang IMB, dimana kegiatan pembangunan masih marak terjadi di wilayah resapan air. Selain itu pemerintah masih menerapkan pendekatan adaptif, dimana warga seakan diminta untuk membiasakan diri dengan banjir. Akibatnya pemerintah tidak maksimal dalam melaksnakan kegiatan mitigasi.

Untuk itu, dalam melaksanakan mitigasi khususnya mengenai banjir Jakarta seharusnya yang dilakukan saat ini adalah memperbanyak porsi untuk kegiatan mitigasi non-struktural dengan mengedepankan partisipasi masyarakat secara aktif. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi berbagai upaya mitigasi structural yang telah dilakukan dan yang sedang direncanakan pemerintah saat ini. Sehingga mitigasi structural tidak sia-sia.
Adapaun berbagai mitigasi non-struktural yang dapat dilakukan antara lain:
1.      Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam upaya pencegahan banjir dengan cara melakukan pendidikan formal maupun non-formal atau berupa kampanye-kampanye intensif. Kegiatan penyadaran tersebut meliputi, kedisiplinan warga dalam menjaga saluran air maupun bantaran sungai dengan tidak membangun bangunan di bantaran sungai, pembuangan limbah dan sampah di saluran air, dan sungai, dll.
2.      Memperketat regulasi dalam hal tata ruang dan IMB yang mana selama ini sering dilanggar.
3.      Mengintregasikan pengelolaan banjir antara hulu dan hilir, dalam hal ini yang menjadi wilauyah hulu adalah Bogor dan hilirnya adalah DKI Jakarta sendiri. Sehingga kedua pemerintah harus memeliki komitmen untuk sama-sama terlibat dalam pengendalaian banjir.
4.      Menggali kearifan-kearifan local yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan mengintregasikan program pemerintah dengan local knowledge yang terdapat di masyarakat.
5.      Menekan pertumbuhan penduduk untuk menanggulangi banjir secara tidak langsung.
6.      Pembuatan rencana darurat banjir pada tingkat kelurahan.
Selain itu, terdapat pula tindakan-tindakan berupa rancangan dan pengelolaan perkotaan yang dapat diimplementasi dengan lebih cepat, seperti operasional dan pemeliharaan infrastruktur; penghijauan di wilayah perkotaan; perbaikan drainase dan pengelolaan limbah/sampah; dan rancangan gedung yang lebih baik dan perlindungan yang tinggal pasang-bongkar. Hal ini memungkinkan wilayah-wilayah yang memiliki risiko banjir dapat ditinggali, sambil mengurangi dampak bila terjadi banjir. Dan yang terpenting lainnya adalah pembuatan jalur-jalur evakuasi yang memadai, mengingat kejadian banjir 2013 menyebabkan berbagai jalan penghubung terputus, sehingga warga kesulitan untuk melakukan evakuasi, selain itu sarana dan alat evakuasi harus memadai seperti perahu karet, dll.

B.     ANALISIS KESIAPSIAGAAN BANJIR JAKARTA
BNPB (2007) menyebutkan bahwa ”kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna”. Kesiapsiagaan mengantisipasi banjir diperlukan untuk meminimalisasi jumlah korban jiwa, jumlah kerusakan dan kerugian harta benda, mengurangi penderitaan, dan mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana banjir. Mengadaptasi dari berbagai factor kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, untuk bencana banjir dapat dikategorikan dalam beberapa factor yaitu (1) pengkajian risiko banjir; (2) tata laksana koordinasi; (3) pendidikan, pelatihan, dan gladi; (5) mekanisme tanggap darurat; (6) tata laksana informasi; (7) keterkaitan antara rencana dan sistem di suatu kawasan; (8) sistem peringatan dini; dan (9) mobilisasi sumberdaya.

Jika dinilai berdasarkan factor tersebut, maka pelaksanaan kesiapsiaagan banjir di DKI Jakarta masih sangat kurang. Meskipun beberapa factor yang telah diupayakan pemerintah DKI Jakarta selama ini khususnya sebelum tahun 2013 telah dilakukan dalam rangka mambangun kesiapsiagaan. Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah antara lain dengan membangun sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini tersebut telah dikoordinasikan dengan sumber informasi seperti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang memantau terus pola dan kondisi cuaca di Jakarta. Koordinasi juga dilakukan dengan pakar meteorologi, Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, petugas pemantau ketinggian air di hulu di tujuh lokasi titik pantau dan partisipasi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu faktor yang penting dalam sistem peringatan dini tersebutadalah informasi dari petugas pemantau ketinggian air di hulu Jakarta, karena curah hujan di hulu ini merupakan salah satu dari tiga faktor penentu terjadi tidaknya banjir di Jakarta. Kedua faktor lainnya adalah curah hujan di Jakarta dan tingginya gelombang pasang di laut. Bila di hulu sudah terjadi luapan air, luapan ini akan menjadi banjir kiriman ke kawasan DKI Jakarta. Namun pada kenyataannya peringatan dini tidak difungsikan, sehingga masyarakat yang terdampak banjir secara langusng tetap tinggi, bahkan telah menelan korban jiwa hingga 40 jiwa.
Untuk itu perlu adanya peningkatan kesiapsiagaan secara dini untuk mengantisipasi kejadian banjir yang akan dating, kegiatan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi banjir dapat merujuk berbagai kota di berbagai Negara di antaranya:
1.      Perencanaan dan pengelolaan keadaan gawat darurat, termasuk peringatan dini dan evakuasi, sebagai contoh sistem pemberitahuan banjir di Filipina dan Lai Nullah Basin, Pakistan.
2.      Meningkatnya kesiagaan melalui kampanye kesadaran sebagaimana didemonstrasikan di Mozambik dan Afghanistan. Kesiapsiagaan termasuk prosedur pengelolaan penurunan risiko banjir perkotaan seperti usaha untuk memelihara drainase tetap lancar melalui pengelolaan limbah yang lebih baik.
3.      Menghindari banjir dengan perencanaan penggunaan lahan seperti yang terdapat pada German Flood Act dan regulasi-regulasi perencanaan di Inggris dan Wales. Perencanaan tata guna lahan memberi kontribusi dalam mengatasi dan mengadaptasi terhadap banjir perkotaan.
4.      Mempercepat pemulihan dan menggunakan proses pemulihan untuk meningkatkan ketahanan melalui perbaikan disain bangunan dan konstruksi yang dikenal sebagai “membangun dengan lebih baik.”
5.      Merencanakan ketahanan rekonstruksi dari sebuah desa dapat dilihat pada desa yang terkena dampak tsunami di Xaafuun, Somalia.Pembiayaan risiko yang sepadan bila tersedia, atau menggunakan sumber-sumber donor dan pemerintah, dapat membantu pemulihan yang lebih cepat.

DAFTAR BACAAN
______, 2013, Banjir Jakarta 2013, Jakarta: BPBD Provinsi DKI Jakarta
Harsa Hastuadi, 2011, Pemanfaatan Sataid untuk Analisa Banjir Dan Angin Puting Beliung: Studi Kasus Jakarta Dan Yogyakart, Jurnal Meteorologi dan Geofisika volume 12 Nomor 2 - September 2011: 195 – 205, BMKG: Jakarta


Jha K Abhas, dkk, 2011, Kota dan Banjir: Panduan Pengelolaan Terintegrasi untuk Risiko Banjir Perkotaan di Abad 21, GFDRR

Manullag Cheche, 2011,  Analisa Data Spasial Wilayah Banjir Dki Jakarta Berdasarkan Curah Hujan Berbasis Web Multimedia, Jurnal Penelitian Universitas Gunadarma


Santoso, Harry, 2012, Aplikasi SSOP Berbasis DAS untuk Penanggulangan Banjir dan Tanah Longsor, Jurnal BNPB Volume 3 No. 1 Tahun 2012, Jakarta: BNPB

Sebastian Ligal, 2008, Pendekatan Pencegahan dan Penanggulangan Banjir, Jurnal Dinamika Teknik  Sipil, Volume 8, Nomor 2, Juli 2008 : 162 – 169, Universitas Sriwidjaja: Palembang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar