Mohamad Mambaus Su'ud, M.Sc
(Master of Disaster Management)
Sebagai upaya dalam menghadapi bencana, setiap individu maupun masyarakat mengembangkan kapasitas dengan berbagai sistem penyesuaian dalam merespon ancaman. Respon itu bersifat jangka pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau dalam jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism). Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar yaitu keamanam, sandang, dan pangan, sedangkan mekanisme jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber–sumber kehidupannya. Prinsip kehati-hatian dimulai dari mencermati setiap bagian kegiatan yang berpotensi menjadi ancaman terhadap keberadaan aset penghidupan dan jiwa manusia. Ancaman tersebut perlahan-lahan maupun tiba-tiba akan berpotensi menjadi sebuah bencana, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta benda dan lingkungan.
Untuk
mengurangi ancaman dilakukanlah upaya mitigasi (mitigation), yaitu
upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Terdapat
dua bentuk mitigasi, yaitu mitigasi struktural berupa pembuatan infrastruktur
untuk minimalisasi dampak, serta mitigasi non struktural berupa penyusuan
peraturan-peraturan, pengelolaan tata ruang dan pelatihan. Usaha-usaha di atas
perlu didukung dengan upaya kesiapsiagaan (preparedness), yaitu
melakukan upaya untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian
langkah-langkah yang tepat, efektif dan siap siaga. Misalnya penyiapan sarana
komunikasi, pos komando dan penyiapan lokasi evakuasi. Usaha
kesiapsiagaan juga dapat dilakukan penguatan sistem peringatan
dini (early warning system), yaitu upaya untuk memberikan tanda
peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi.
Dalam konteks yang lebih luas, mitigasi
maupun kesiapsiagaan sebenarnya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
yang tinggal di wilayah rawan bencana. Mitigasi dan kesiapsiagaan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat merupakan wujud akumulasi pengalaman atau
relasi masyarakat dengan alam, yang kemudian menjadi pengetahuan dan prinsip
berperikehidupan masyarakat lokal secara turun temurun (Maarif, dkk, 2012).
Memang hal tersebut seringkali tidak disadari atau kurang menjadi perhatian
utamanya oleh pemerintah, sehingga kebanyakan kegiatan yang diagendakan untuk
mitigasi dan kesiapsiagaan merupakan rumusan dari kalangan birokrat, dan
bukan pengembangan yang bersumber langsung dari masyarakat.
Saat ini banyak penelitian yang
mengetengahkan kontestasi dan pemaknaan kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan lokal (local knowledge) sebagai bentuk mitigasi dan kesiapsiagaan
masyarakat. Kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan lokal (local knowledge) yang berkembang di
masyarakat secara turun-temurun ternyata bermakna sebagai bentuk mitigasi dan
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Seluruh pengetahuan tersebut bersifat
dinamis, terus berubah, berkembang dan beradaptasi karena respon masyarakat pada
perubahan lingkungannya. Meskipun pada masyarakat postmodern, kontestasi pengetahuan lokal
tetap berlangsung.
Bila kita mempelajari masyarakat Jawa yang
terkenal dengan kege-marannya yang suka hidup bergotong-royong. Kita akan mendapati bahwa
masyarakat Jawa menjadikan gotong royong sebagai
semboyan hidup dengan ungkapan: “saiyeg saekopraya gotong royong” dan “hapanjang-hapunjung
hapasir-wukir loh-jinawi, tata tentrem kertaraharja”. Semboyan-semboyan
itu mengajarkan hidup tolong-menolong se-sama masyarakat atau keluarga.
Masyarakat Jawa merasa dirinya bukanlah persekutuan individu-individu,
melainkan suatu kesatuan bentuk “satu untuk semua dan semua untuk satu”. Dari
gambaran tersebut, tak heran pula ada sebuah peribahasa “mangan ora mangan
nek kumpul” yang mencerminkan budaya selalu ingin kumpul dengan lingkungan
sosialnya (Wijayanti dan Nurwianti, 2010). Dalam konteks kebencanaan, prinsip
gotong royong dalam kehidupan sehari-hari masyarakat merupakan bentuk
kesiapsiagaan menghadapi bencana, yakni masyarakat Jawa mampu untuk
menggalang/memobilisasi bantuan ketika suatu kondisi darurat terjadi ataupun
membangun kembali (rehabilitasi dan rekonstruksi) pasca bencana.
Sementara
bagi masyarakat Sumatera khususnya di Simuelele,
untuk menghadapi ancaman tsunami masyarakat lokal menyebut tsunami sebagai
“smong”. Dalam ungkapan “smong” mengandung pesan bahwa ketika ada gempa besar
yang diikuti surutnya air laut, masyarakat harus berlari menjauhi pantai dan
menuju tempat yang lebih tinggi. Artinya ungkapan “smong” telah menjadi SOP (Standart
Operating Procedure) dalam siap siaga menghadapi tsunami yang mampu turun
temurun ke berbagai generasi.
Hasil penelitian Triyanan dan Wibowo
(2011) Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada tentang pelaksanaan peraturan partisipatif masyarakat dalam
penanggulangan bencana Gunung Merapi menunjukkan bahwa masyarakat Desa Srumbung memiliki metode-metode lokal dalam penanggulangan bencana Merapi 2010, penanggulangan tersebut dilakukan dengan cara-cara inisiatif, yaitu
menghimpun dana swadaya masyarakat untuk membeli handy talky dan telepon seluler sebagai alat untuk melakukan
komunikasi dan koordinasi sehingga kegiatan evakuasi pada masa tanggap darurat
berjalan dengan optimal.
Selain itu, masyarakat Desa Srumbung
menunjukkan kemampuan dalam melakukan pembagian tugas untuk pelaksanaan
evakuasi dengan cara rembug
(musyawarah) untuk mendata jumlah dan kepemilikan kendaraan angkut, selanjutnya
dibuat job description (siapa berbuat
apa, kapan, dan dimana). Ada lagi pembentukan LSM yang dimotori oleh Ibu Nuki,
Nyai pondok pesantren Pabelan yang mampu menghimpun dana yang besar untuk
membantu upaya rekonstruksi perumahan masyarakat, dengan persyaratan
pembangunan dilakukan di tanah milik sendiri dan bukan merupakan zona bahaya.
Masyarakat yang memiliki
pemahaman Islam yang kuat atau masyarakat yang menerapkan ajaran Islam dalam
kehidupan kesehariannya, biasanya telah memiliki pemahaman mitigasi dan
kesiapsiagaan berbasis ajaran Islam. Karena dalam perspektif agama Islam bencana
dilustrasikan dengan beberapa istilah yaitu mushibah,
adzab, bala’, fitnah, ba’sa, su’, tahlukah (Zamroni, 2011). Mushibah merupakan petaka yang dapat
dianggap sebagai hukuman atau cobaan, dapat memberikan efek negatif juga
positif bagi yang mengalaminya, sedangkan adzab
berarti hukuman yang yang ditujukan bagi mereka yang melanggar hukum Islam.
Bala’ berarti penderitaan atau
kesengsaraan yang bersifat ujian. Fitnah
cenderung merujuk pada bencana non alam/bencana sosial/konflik sosial. Untuk
menghindari segala bentuk bencana di atas, orang Islam harus berupaya
meninggalkan segala larangan Allah SWT, dan melaksanakan segala perintah agama
yang diimplementasikan baik dalam diri sendiri maupun dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dalam konteks manajemen bencana, Islam
telah mengajarkannya dalam Al-Quran melalui ayat-ayatNya seperti yang tertera
pada gambar 2.1, masing-masing tahapan memiliki tahapan normatif di dalam
ayat-ayat tersebut, karena sebenarnya Alloh SWT menguasai atas segala sesuatu
di dalam jagad raya ini. Tinggal manusia mau merenungkan dan mempelajarinya
ataukah tidak. Pemahaman tersebut telah terdoktrin dalam kehidupan umat Islam
pada umumnya, maka dalam rangka mengimplementasikan dalam kehidupan berjama’ah (bersama) biasanya dilakukan
ritual keagamaan seperti doa bersama, istighotsah,
pengajian, yasinan, dll.
Gambar Siklus
penanggulangan bencana dalam perspektif Islam
(Zamroni, 2011)
Memang dalam masyarakat Islam setidaknya
di Jawa, sosio agama selalu berkorelasi dengan sosio kultur masyarakat
setempat. Korelasi sosio agama dengan
sosio kultur dijelaskan oleh teori fungsionalisme yang memandang bahwa agama
sebagai penyebab sosial yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, sistem
sosial dan termasuk konflik sosial. Teori fungsionalisme agama juga memandang
agama sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar dari karakteristik dasar
eksistensi manusia meliputi: Pertama, manusia hidup dalam kondisi
ketidakpastian; hal penting bagi keamanan dan kesejahteraan di luar
jangkauannya. Kedua, kemampuan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi
kondisi hidupnya terbatas, dan pada titik tertentu kondisi manusia berada pada
konflik antara keinginan dengan situasi lingkungan yang menyebabkan
ketidakberdayaan. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat, di mana terdapat
norma-norma agama yang tumbuh dalam masyarakat yakni tentang perbuatan dan ganjaran.
Jadi, seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk
mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan. Agama
juga dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap
unsur-unsur tersebut (Raharjo, 2007).
Kesimpulannya bahwa masyarakat di wilayah
terancam bencana sebetulnya telah mampu memahami risiko yang mereka hadapi dan
memahami apa yang harus mereka lakukan ketika bencana tersebut melanda,
termasuk masyarakat Desa Poncosari. Apalagi dari
24 padukuhan yang ada, terdapat 5 padukuhan yang memiliki ancaman tsunami tinggi,
yaitu Padukuhan Sambeng 2,
bagian barat Padukuhan Babakan, Padukuhan Ngentak, Padukuhan Kwaru, dan Padukuhan
Cangkring. Enam padukuhan berada pada ancaman tsunami sedang, yaitu
Padukuhan Kukap, Padukuhan Koripan, Padukuhan Krajan, Padukuhan Jopaten, Padukuhan
Bodowaluh, dan Padukuhan Karang. 13 padukuhan yang lain berada pada wilayah
ancaman tsunami rendah. Meskipun begitu, tidak semua mitigasi dan
kesiapsiagaan harus menggunakan ala masyarakat. Sehingga disini membutuhkan
suatu sinergi antara masyarakat dengan pemerintah dalam membangun konsep
mitigasi dan kesiapsiagaan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Alpizar, 2008, Islam Dan Perubahan Sosial (Suatu Teori Tentang
Perubahan Masyakarat), Paper, Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Diposaptono
Subandono, 2008, Hidup Akrab dengan Gempa
dan Tsunami, Bogor: PT Sarana Komunikasi Utama
Maarif
Syamsul, dkk, 2012, Kontestasi
Pengetahuan dan Pemaknaan Tentang Ancaman Bencana Alam (Studi Kasus Ancaman Bencana Gunung Merapi), Jurnal
Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012, hal. 1-13
Raharjo Shodiq, 2007, Konflik antara NU dan Muhammadiyah 1960-2002
(studi kasus Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta), Skripsi Fakultas Adab,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sunarto
Kamanto, 1993, Pengantar Sosiologi,
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Tashadi, dkk, 1982, Sistem
Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta,
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Triyana Jaka dan Wibowo Andi, 2011, Pelaksanaan
Peraturan Partisipasi dalam Penanggulangan Erupsi Merapi, Hasil Penelitian
Fakultas Hukum UGM
UNISDR,
2005, Hyogo Framework for Action:
Building Resilience of Nation and Communities to Disaster, Kobe: UNISDR
Uno Hamzah, 2006, Konsep
Dasar Pembelajaran, Jakarta: PT. Bumi Aksara
Wijayanti Herlani, 2010, Kekuatan Karakter dan
Kebahagiaan pada Suku Jawa, Jurnal Psikologi Volume 3,
No. 2, Juni 2010114
Yuniarti Kwartarini, 2012, Budaya Dan Perdamaian : Harmoni dalam
Kearifanlokal Masyarakat Jawa Menghadapiperubahan Pasca Gempa, Humanitas, Vol. IX No.1 Januari
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar