Mohamad Mambaus Su'ud, M.Sc
(Master of Disaster Management)
Istilah pemerintah sangat
erat kaitannya dengan birokrasi, berbagai definisi telah menggambarkan tentang
birokrasi. Dan kesemuanya mengarah pada definisi bahwa birokrasi merupakan
suatu sitem kontrol dalam sebuah organisasi yang dirancang berlandaskan
aturan-aturan rasional dan sistematis yang bertujian untuk mengarahkan dan
mengkoordinasikan individu-individu yang terlibat dalam rangka menyelesaikan
masalah administratif. Dengan aturan yang telah tersistem inilah individu-individu
dalam pemerintahan diarahkan. Untuk membenarkan tindakan mereka dalam lingkaran
sistem tersebut maka diciptakanlah regulasi. Maka disini kemudaian birokrasi
berfungsi menjadi sebuah regulasi yang harus ditaati.
Akan tetapi dalam perjalanannya, regulasi yang
disusun atas nama kepentingan publik manjadi benteng bahkan pembenaran atas
malpraktik yang mungkin dapat berlangsung. Sebagai pengambil keputusan (policy
makers), mereka memanfaatkan birokrasi sebagai instrumen untuk mengelola
kontroversi yang terjadi di level publik. Bahkan, dengan regulasi pemerintah
dapat memaksanakan keputusan demi kepentingan publik. Dengan adanya birokrasi, maka
diharapkan kinerja pemerintah memiliki acuan yang jelas dan sama serta bersifat
impersonal (tidak pribadi), agar tidak dituduh melakukan tindakannya demi
kepentingannya sendiri. Oleh karenanya, acuan formal menjadi satu-satunya
instrumen untuk mengukur kinerja kolektif birokrasi. Sehingga diharapkan dengan
formalitas, segala sesuatu yang menyangkut kinerja birokrasi menjadi jelas dan
pasti.
Namun formalisme tersebut
agaknya menjadi kontra produktif jika dikaitkan dengan konteks penanggulangan
bencana berbasis masyarakat. Dalam konteks itu, sistem penanggulangan bencana
yang dirumuskan oleh birokrasi harus melibatkan masyarakat secara total.
Termasuk di dalamnya sikap mental masyarakat. Di dalam sistim mitigasi, keterlibatan mental masyarakat dapat
dimaksudkan sebagai keterlibatan sistem pengetahuan dan kearifan masyarakat
lokal. Pengetahuan dan kearifan lokal yang sudah turun temurun dari generasi ke
generasi membuktikan bahwa dengan kearifan lokal masyarakat dapat melestarikan
lingkungan di mana mereka tinggal. Secara teoritik mitigasi (mitigation) didefinisikan sebagai upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana.
Konsepsi ilmu
pengetahuan modern, mengelompokkan
mitigasi
menjadi dua jenis, mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitgasi
struktural untuk gempabumi dapat dilakukan dengan mengembangkan bangunan tahan
gempabumi, mikrozonasi wilayah terancam, dan lain-lain. Untuk mitigasi
struktural tsunami meliputi pembuatan break
water (pemecah gelombang), sea wall
(tembok laut), shelter (tempat
perlindungan), artificial hill (bukit
buatan), dan lain-lain. Sedangkan mitigasi non struktural meliputi pendidikan
kebencanaan, pelatihan, penyadaran masyarakat, penataan tata ruang, penyadaran
masyarakat, peraturan perundangan, dan lain-lain (Diposaptono, 2008).
Sementara mitigasi struktural sendiri dibedaan lagi
menjadi dua jenis yaitu alami dan buatan. Mitigasi struktural alami dapat
dilakukan dengan penanaman green belt
(sabuk hijau), sedangkan mitigasi struktural buatan dapat dilakukan dengan
pembuatan sea wall (tembok laut), shelter (tempat perlindungan), artificial hill (bukit buatan). Ilmu
pengetahuan modern saat ini juga telah banyak mengembangkan parameter-parameter
kesiapsiagaan. Seperti yang telah dikerjakan LIPI dengan mengembangkan kerangka kerja pengukuran kesiapsagaan yang mengacu
pada lima parameter utama. Kelima parameter tersebut antara lain yaitu (1)
pengetahuan dan sikap; (2) kebijakan dan panduan; (3) rencana tanggap darurat;
(4) sistem peringatan bencana; dan (5) mobilisasi sumberdaya.
Dikarenakan
acuan kerja pemerintah harus berlandaskan formalisme yang jelas dan terkuantifikasi
dengan baik. Maka kemudian Kegiatan
pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih terkonsentrasi
pada pembanguan yang bersifat fisik, yang cenderung mengarah pada proyek jangka
pendek dan kurang memperhatikan sisi keberlanjutan program itu sendiri. Karena bagi pemerintah, apabila
anggaran sudah terserap dan terbelanjakan sesuai sasaran serta dapat
dipertanggungjawabkan sudah merupakan langkah yang aman. Sikap seperti ini juga menjalar terhadap kegiatan
mitigasi bencana, pemerintah lebih mudah untuk segera membangun sarana fisik
daripada memperkuat sikap dan mental masyarakat dalam menghadapi bencana.
Artinya bahwa pemerintah masih cenderung lebih menyukai membangun mitigasi
struktural daripada membangun/memperhatikan mitigasi non struktural. Padahal
dengan membangun mitigasi non struktural (pengetahuan dan sikap mental) akan
dapat menjamin keberlanjutan sarana mitigasi struktural.
Tantangan turunan agar
pemerintah melibatkan sikap mental masyarakat juga dalam rangka menjawab kemampuan
pemerintah dalam melaksanaan paradigma bottom-up utamanya dalam sistem penanggulangan
bencana. Tentu tidak diharapkan jika dalam jargon pembangunan “bottom up”
terdapat pengecualian. Memamng harus diakui bahwa dalam melaksanakan pembangunan masyarakat (community development) yang penting
harus dipertimbangkan adalah keberlanjutan (sustainable)
program. Begitu pula dalam membangun mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat
dalam menghadapi ancaman bencana. Menurut Soetrisno (1995) Keberlanjutan agenda
pemerintah di dalam masyarakat ditentukan seberapa besar keterlibatan
masyarakat dalam agenda tersebut, semakin besar pemerintah memberikan
kesempatan kepada masyarakat dalam pembangunan, maka semakin besar pula
kemungkinan keberlanjutan program yang dijalankan. Keberlanjutan pembangunan
bisa terjadi jika sikap mental masyarakat juga dilibatkan, sehingga masyarakat
bukan hanya terlibat dalam sumbangsih tenaga, uang, maupun fikiran saja.
Meskipun sistim penanggulangan bencana yang saat ini
dikembangkan pemerintah terhitung baru. Namun tidak diharapkan pula bahwa sistim
penanggulangan bencana akan mundur. Dimana dalam mengimplementasikan peran serta masyarakat, Pemerintah mempersiapkan instrumen hukum yang mengatur
peranserta masyarakat di semua sektor kebijakan dan membentuk lembaga-lembaga
sebagai saluran partisipasi warga seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
(LKMD), Organisasi fungsional seperti organisasi petani (HKTI), organisasi
buruh (SPSI) dan lain-lain. Karena jika hal tersebut terjadi, setiap individu
hanya bisa menyalurkan partisipasinya melalui organisasi yang sesuai dengan
bidangnya. Kebijakan itu menguntungkan pemerintah karena dapat digunakan untuk
memobilisasi sumberdaya baik tenaga, dana, maupun sumberdaya alam untuk
menyukseskan program pembangunan, sekaligus lembaga-lembaga yang dibentuk
pemerintah dapat digunakan untuk mengontrol keberadaan perkembangan organaisasi
sosial yang tumbuh di masyarakat. Jika hal
semacam ini yang terjadi, maka sudah tentu sinergi antara pemerintah dengan
masyarakat tidak akan kunjung terwujud.
Kita
perlu khawatir karena paradigma pemerintahan bottom up yang diagung-agungkan saat ini, rupanya belum
diterjemahkan dengan baik dalam pelaksanaan sistem penanggulangan bencana. Hal
ini ditunjukkan dari penelitian Handayani (2011) Prodi Ilmu Administrasi negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
tentang partisipasi masyarakat dan peran pemerintah dalam manajemen bencana di
Kabupaten Serang, Banten menunjukkan bahwa pemerintah cenderung menerapkan
pendekatan ”atas ke bawah (top down)” dalam perencanaan manajemen
bencana dimana kelompok sasaran/masyarakat diberi solusi-solusi yang dirancang
untuk mereka oleh para perencana dan bukannya dipilih oleh masyarakat sendiri.
Meskipun telah dikembangkan Kampung Siaga Bencana yang merupakan representasi
dari program penanggulangan bencana berbasis masyarakat (Community Base
Disarter Management) yaitu sebagai bentuk upaya pelembagaan penanggulangan
bencana pada daerah rawan bencana yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat
dalam rangka menanamkan sikap kesiapsiagaan penanggulangan bencana.
Pendekatan
dengan cara-cara top down cenderung
mendekatkan tindakan-tindakan manajemen bencana fisik dibandingkan
perubahan-perubahan sosial untuk membangun sumberdaya dari kelompok yang
rentan. Jarang tercapai tujuan masyarakat karena pemerintah bertindak atas
gejala-gejala dan bukan atas penyebabnya, dan gagal merespon kebutuhan riil dan
tuntutan dari masyarakat.
Referensi:
Atmoko Tjipto, 2011, Partisipasi Publik dan
Birokratisme Pembangunan, Jurnal
Sasi Vol. 17 No. 3 Bulan Juli-September 2011
Diposaptono
Subandono, 2008, Hidup Akrab dengan Gempa
dan Tsunami, Bogor: PT Sarana Komunikasi Utama
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011: ISBN: 978-602-96848-2-7
LAB-ANE FISIP Untirta [207],
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2011, Analisis
Partisipasi Masyarakat Dan Peran Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Manajemen
Bencana Di Kabupaten Serang Provinsi Banten, Riny Handayani: FISISP
Soetrisno
Loekman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius
UNISDR,
2005, Hyogo Framework for Action:
Building Resilience of Nation and Communities to Disaster, Kobe: UNISDR
Silahkan beri komentar/masukan, terimakasih
BalasHapus