Rabu, 04 Juni 2014

Kesulitan Pemerintah Bersinergi dengan Masyarakat dalam Mitigasi dan Kesiapsiagaan

Mohamad Mambaus Su'ud, M.Sc
(Master of Disaster Management)
Istilah pemerintah sangat erat kaitannya dengan birokrasi, berbagai definisi telah menggambarkan tentang birokrasi. Dan kesemuanya mengarah pada definisi bahwa birokrasi merupakan suatu sitem kontrol dalam sebuah organisasi yang dirancang berlandaskan aturan-aturan rasional dan sistematis yang bertujian untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan individu-individu yang terlibat dalam rangka menyelesaikan masalah administratif. Dengan aturan yang telah tersistem inilah individu-individu dalam pemerintahan diarahkan. Untuk membenarkan tindakan mereka dalam lingkaran sistem tersebut maka diciptakanlah regulasi. Maka disini kemudaian birokrasi berfungsi menjadi sebuah regulasi yang harus ditaati.

 
Akan tetapi dalam perjalanannya, regulasi yang disusun atas nama kepentingan publik manjadi benteng bahkan pembenaran atas malpraktik yang mungkin dapat berlangsung. Sebagai pengambil keputusan (policy makers), mereka memanfaatkan birokrasi sebagai instrumen untuk mengelola kontroversi yang terjadi di level publik. Bahkan, dengan regulasi pemerintah dapat memaksanakan keputusan demi kepentingan publik. Dengan adanya birokrasi, maka diharapkan kinerja pemerintah memiliki acuan yang jelas dan sama serta bersifat impersonal (tidak pribadi), agar tidak dituduh melakukan tindakannya demi kepentingannya sendiri. Oleh karenanya, acuan formal menjadi satu-satunya instrumen untuk mengukur kinerja kolektif birokrasi. Sehingga diharapkan dengan formalitas, segala sesuatu yang menyangkut kinerja birokrasi menjadi jelas dan pasti.
 
Namun formalisme tersebut agaknya menjadi kontra produktif jika dikaitkan dengan konteks penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Dalam konteks itu, sistem penanggulangan bencana yang dirumuskan oleh birokrasi harus melibatkan masyarakat secara total. Termasuk di dalamnya sikap mental masyarakat. Di dalam sistim mitigasi, keterlibatan mental masyarakat dapat dimaksudkan sebagai keterlibatan sistem pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal. Pengetahuan dan kearifan lokal yang sudah turun temurun dari generasi ke generasi membuktikan bahwa dengan kearifan lokal masyarakat dapat melestarikan lingkungan di mana mereka tinggal.  Secara teoritik mitigasi (mitigation) didefinisikan sebagai upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. 


Konsepsi ilmu pengetahuan modern, mengelompokkan mitigasi menjadi dua jenis, mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitgasi struktural untuk gempabumi dapat dilakukan dengan mengembangkan bangunan tahan gempabumi, mikrozonasi wilayah terancam, dan lain-lain. Untuk mitigasi struktural tsunami meliputi pembuatan break water (pemecah gelombang), sea wall (tembok laut), shelter (tempat perlindungan), artificial hill (bukit buatan), dan lain-lain. Sedangkan mitigasi non struktural meliputi pendidikan kebencanaan, pelatihan, penyadaran masyarakat, penataan tata ruang, penyadaran masyarakat, peraturan perundangan, dan lain-lain (Diposaptono, 2008). 


Sementara mitigasi struktural sendiri dibedaan lagi menjadi dua jenis yaitu alami dan buatan. Mitigasi struktural alami dapat dilakukan dengan penanaman green belt (sabuk hijau), sedangkan mitigasi struktural buatan dapat dilakukan dengan pembuatan sea wall (tembok laut), shelter (tempat perlindungan), artificial hill (bukit buatan). Ilmu pengetahuan modern saat ini juga telah banyak mengembangkan parameter-parameter kesiapsiagaan. Seperti yang telah dikerjakan LIPI dengan mengembangkan kerangka kerja pengukuran kesiapsagaan yang mengacu pada lima parameter utama. Kelima parameter tersebut antara lain yaitu (1) pengetahuan dan sikap; (2) kebijakan dan panduan; (3) rencana tanggap darurat; (4) sistem peringatan bencana; dan (5) mobilisasi sumberdaya.

Dikarenakan acuan kerja pemerintah harus berlandaskan formalisme yang jelas dan terkuantifikasi dengan baik. Maka kemudian Kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih terkonsentrasi pada pembanguan yang bersifat fisik, yang cenderung mengarah pada proyek jangka pendek dan kurang memperhatikan sisi keberlanjutan program itu sendiri. Karena bagi pemerintah, apabila anggaran sudah terserap dan terbelanjakan sesuai sasaran serta dapat dipertanggungjawabkan sudah merupakan langkah yang aman. Sikap seperti ini juga menjalar terhadap kegiatan mitigasi bencana, pemerintah lebih mudah untuk segera membangun sarana fisik daripada memperkuat sikap dan mental masyarakat dalam menghadapi bencana. Artinya bahwa pemerintah masih cenderung lebih menyukai membangun mitigasi struktural daripada membangun/memperhatikan mitigasi non struktural. Padahal dengan membangun mitigasi non struktural (pengetahuan dan sikap mental) akan dapat menjamin keberlanjutan sarana mitigasi struktural.


Tantangan turunan agar pemerintah melibatkan sikap mental masyarakat juga dalam rangka menjawab kemampuan pemerintah dalam melaksanaan paradigma bottom-up utamanya dalam sistem penanggulangan bencana. Tentu tidak diharapkan jika dalam jargon pembangunan “bottom up” terdapat pengecualian. Memamng harus diakui bahwa dalam melaksanakan pembangunan masyarakat (community development) yang penting harus dipertimbangkan adalah keberlanjutan (sustainable) program. Begitu pula dalam membangun mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Menurut Soetrisno (1995) Keberlanjutan agenda pemerintah di dalam masyarakat ditentukan seberapa besar keterlibatan masyarakat dalam agenda tersebut, semakin besar pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam pembangunan, maka semakin besar pula kemungkinan keberlanjutan program yang dijalankan. Keberlanjutan pembangunan bisa terjadi jika sikap mental masyarakat juga dilibatkan, sehingga masyarakat bukan hanya terlibat dalam sumbangsih tenaga, uang, maupun fikiran saja.


Meskipun sistim penanggulangan bencana yang saat ini dikembangkan pemerintah terhitung baru. Namun tidak diharapkan pula bahwa sistim penanggulangan bencana akan mundur. Dimana dalam mengimplementasikan peran serta masyarakat, Pemerintah mempersiapkan instrumen hukum yang mengatur peranserta masyarakat di semua sektor kebijakan dan membentuk lembaga-lembaga sebagai saluran partisipasi warga seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Organisasi fungsional seperti organisasi petani (HKTI), organisasi buruh (SPSI) dan lain-lain. Karena jika hal tersebut terjadi, setiap individu hanya bisa menyalurkan partisipasinya melalui organisasi yang sesuai dengan bidangnya. Kebijakan itu menguntungkan pemerintah karena dapat digunakan untuk memobilisasi sumberdaya baik tenaga, dana, maupun sumberdaya alam untuk menyukseskan program pembangunan, sekaligus lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk mengontrol keberadaan perkembangan organaisasi sosial yang tumbuh di masyarakat. Jika hal semacam ini yang terjadi, maka sudah tentu sinergi antara pemerintah dengan masyarakat tidak akan kunjung terwujud.


Kita perlu khawatir karena paradigma pemerintahan bottom up yang diagung-agungkan saat ini, rupanya belum diterjemahkan dengan baik dalam pelaksanaan sistem penanggulangan bencana. Hal ini ditunjukkan dari penelitian Handayani (2011) Prodi Ilmu Administrasi negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tentang partisipasi masyarakat dan peran pemerintah dalam manajemen bencana di Kabupaten Serang, Banten menunjukkan bahwa pemerintah cenderung menerapkan pendekatan ”atas ke bawah (top down)” dalam perencanaan manajemen bencana dimana kelompok sasaran/masyarakat diberi solusi-solusi yang dirancang untuk mereka oleh para perencana dan bukannya dipilih oleh masyarakat sendiri. Meskipun telah dikembangkan Kampung Siaga Bencana yang merupakan representasi dari program penanggulangan bencana berbasis masyarakat (Community Base Disarter Management) yaitu sebagai bentuk upaya pelembagaan penanggulangan bencana pada daerah rawan bencana yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat dalam rangka menanamkan sikap kesiapsiagaan penanggulangan bencana.


Pendekatan dengan cara-cara top down cenderung mendekatkan tindakan-tindakan manajemen bencana fisik dibandingkan perubahan-perubahan sosial untuk membangun sumberdaya dari kelompok yang rentan. Jarang tercapai tujuan masyarakat karena pemerintah bertindak atas gejala-gejala dan bukan atas penyebabnya, dan gagal merespon kebutuhan riil dan tuntutan dari masyarakat.

Referensi:

Atmoko Tjipto, 2011, Partisipasi Publik dan Birokratisme Pembangunan, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 3 Bulan Juli-September 2011 

Diposaptono Subandono, 2008, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, Bogor: PT Sarana Komunikasi Utama


Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011: ISBN: 978-602-96848-2-7 LAB-ANE FISIP Untirta [207], Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2011, Analisis Partisipasi Masyarakat Dan Peran Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Manajemen Bencana Di Kabupaten Serang Provinsi Banten, Riny Handayani: FISISP 


Soetrisno Loekman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius  

UNISDR, 2005, Hyogo Framework for Action: Building Resilience of Nation and Communities to Disaster, Kobe: UNISDR

1 komentar: