Kamis, 05 Juni 2014

An Opinion: Kontribusi Sekolah dalam Penyelesaian Masalah Kebencanaan



Mohamad Mambaus Su'ud, M.Sc
(Master of Disaster Management)

Issu permasalah yang saat ini sedang banyak melanda bangsa yang tak kalah penting selain penegakan hukum, korupsi, demokrasi, kedaulatan negara, dll. adalah pengelolaan bencana. Bagaimanapun kejadian bencana yang melanda di hampir seluruh wilayah nusantara, telah mereduksi dan memperlambat upaya pembangunan bangsa. Kerugian di berbagai sektor telah menunjukkan bagaimana bencana itu merupakan "musuh" yang harus di taklukkan.

Pengedepanan tentang pengurangan risiko bencana (PRB) yang telah terkonsep dari Rencana Aksi Nasional (RAN) tahun 2010-2012 harus dapat diterjemahkan dalam kegaiatan yang konkrit. Tidak hanya pembentukan dan pengauatan lembaga yang berperan dalam penanggulangan bencana semisal BNPB dan BPBD tetapi juga perlu membelajarkan pengetahuan kebencanaan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Jika saat ini telah dikedepankan pendidikan demokrasi, anti korupsi, dan anti kekerasan di sekolah, maka pendidikan PRB harusnya juga menjadi materi yang tak kalah penting. Terdapat tujuan penting mengapa pemahaman tentang PRB perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah?, yakni tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek tidak lain untuk meningkatkan kapasitas warga sekolah guna mengurangi risiko apabila suatu bencana terjadi. Lingkungan sekolah menjadi lokasi yang memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi dan memungkinkan banyak jatuhnya korban bila bencana terjadi, terlebih lagi pada sekolah PAUD, TK, dan SD yang notabene masih sangat tergantung arahan orang tua ataupun guru. Di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa anak-anak merupakan salah satu yang termasuk kelompok rentan selain lansia, orang cacat, dan ibu hamil. Kita semua tahu bahwa sekolah merupakan lokasi berkumpulnya puluhan bahkan ratusan anak yang setidaknya waktu mereka habiskan disekolah selama 5-7 jam.

Sedangkan tujuan jangka panjang dari memahamkan PRB kepada warga sekolah ialah menanamkan sejak dini ilmu pengetahuan kebencanaan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Apabila suatu pengetahuan telah tertanam dalam setiap generasi masyarakat, maka ini merupakan “storage” sebagai mitigasi dan kesiapsiagaan, dengan memory yang terus terjaga maka tidak akan terputus oleh generasi tertentu. Erupsi Merapi tahun 2010 telah memberikan pelajaran berharga betapa pentingnya memori pengetahuan kebencanaan dalam masyarakat harus tetap terjaga. Erupsi tahun 2010 tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan dengan bencana serupa dalam lima kejadian sebelumnya, yaitu kejadian pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2006. Akibat dari erupsi 2010 sangat signifikan, tercatat jumlah korban jiwa sebanyak 242 orang meninggal di wilayah DI Yogyakarta dan 97 orang meninggal di wilayah Jawa Tengah (sumber: DiBi BNPB). Karena memang Erupsi tahun 2010 merupakan siklus erupsi 100 tahunan yang cerita dan pengetahuan di masyarakat terputus pada generasi tertentu.

Dua tujuan tersebut merupakan gambaran singkat betapa pentingnya kurikulum kebencanaan dibangun. Namun sampai saat ini hampir belum terdapat sekolah yang menerapkan kurikulum tersebut. Salah satu alasan yang sering dilontarkan adalah beban belajar yang sudah terlalu tinggi jika ilmu pengetahuan kebencanaan dijadikan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sehingga mulai muncullah alternatif bahwa ilmu pengetahuan kebencanaan tidak harus berdiri sebagai mata pelajaran sendiri, namun dapat diintegrasikan dengan kurikulum sekolah yang ada dengan memasukkan materi kebencanaan pada mata pelajaran tertentu. Pengintegrasian pengetahuan kebencanaan ke dalam mata pelajaran, memang menjadi tantangan tersendiri bagi guru pengampu mata pelajaran tersebut. Guru dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang kebencanaan yang tidak hanya teori tetapi juga praktik, guru juga dituntut untuk mengaitkan tema kebencanaan dengan materi yang diampunya. Tentu sebelum menyampaikannya ke siswa, guru juga dituntut membuat indikator pembelajaran baru yang di dalamnya telah memasukkan tema kebencanaan.  Hal inilah yang mungkin menjadi alasana mengapa sampai hari ini alternatif mengintegrasikan pengetahuan kebencanaan ke dalam kurikulum sekolah masih mandeg dan stagnan pada ranah wacana.
                                            Sumber: http://sinarharapan.co/news/

Alternatif lain yang barangkali sangat mungkin dapat segera diterapkan adalah dengan membuat ekstrakurikuler sekolah yang kegiatannya fokus pada issu kebencanaan atau dapat pula dilebur dalam kegiatan ekstrakurikuler yang telah ada, semisal Pramuka, PMR, KIR, dll. Meski pada dasarnya kegiatan ekstrakulrikuler tidak mewajibkan seluruh siswa di sekolah tertentu untuk menjadi anggotanya, namun setidaknya dengan keberadaan kegiatan ekstra dapat menjadi “embrio” terwujudnya kurikulum kebencanaan. Penulis yakin ekstrakurikuler semacam ini dapat menarik minat banyak siswa, terlebih lagi apabila dibimbing atau di supervisi para praktisi dibidang kebencanaan dan memilki program yang bermanfaat langsung bagi masyarakat sekitar. Di dalam kegiatan ekstrakurikuler siswa dapat lebih ekspresif, sehingga siswa menyenangi setiap kegiatan yang mereka ikuti, jika sudah demikian siswa tersebut akan dengan mudah menularkan pengetahuan dan keterampilan mereka kepada teman sebayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar