Tantangan dalam pengembangan masyarakat pesisir sangatlah
kompleks, sebagai komunitas yang masih dianggap marginal dengan tingkat
pendidikan yang rendah harus menghadapi kenyataan bahwa wilayah mereka memiliki
potensi ancaman bencana yang besar yakni gempabumi, tsunami, abrasi serta
kemungkinan ancaman lainnya. Menyoal tentang ancaman bencana kepesisiran, Indonesia
memiliki banyak pengalaman menghadapi bencana kepesisiran, terutama yang berada
di sepanjang jalur busur Sirkum Mediterania dan Pasifik. Tiga kali tsunami
besar dalam kurun 20 tahun terakhir, Banyuwangi 1994, Aceh 2004, dan
Pangandaran 2006. Gempabumi yang kuat maupun lemah akibat subduksi lempeng
Eurasia dengan Indo-Australia serta persebaran sesar aktif di beberapa wilayah
pesisir. Belum lagi abrasi yang menghancurkan ekosistim pesisir dan fasilitas
produktif. Pengalaman tersebut telah memberikan pembelajaran secara langsung
kepada masyarakat pesisir. Pengalaman atau relasi masyarakat dengan alam, yang
kemudian menjadi pengetahuan dan prinsip berperikehidupan masyarakat lokal membentuk mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism) yang teratur secara turun temurun (Maarif,
dkk, 2012). Contoh smong dalam masyarakat Simeule untuk menghadapi tsunami, rumah adat
Nias untuk mengantisipasi gempabumi, dan pohon sawo kecik dalam masyarakat Jawa
untuk penangkal petir. model mekanisme ini tentu memerlukan waktu yang tidak
singkat hingga menjadi sistim pengetahuan lokal (local knowledge). Namun ada pula respon masyarakat yang berupa
tindakan-tindakan sesaat yang bersifat naluriah baik individu maupun kelompok
dalam jangka pendek untuk mengakses kebutuhan dasar serta meredam ancaman. Misalnya
saja seperti gotong royong pembersihan sungai, penanaman vegetasi pesisir,
penggalangan dana untuk pembuatan tanggul, dll. Respon dan tindaka-tindakan tersebut yang kemudian disebut sebagai
gerakan sosial dalam konteks Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Touraine (1998)
mengatakan bahwa gerakan sosial merupakan aksi kolektif untuk
memodifikasi cara-cara sosial dalam memanfaatkan sumber daya yang penting dan
orientasi kultural yang dapat diterima masyarakat (Nugroho dan Yon, 2011). Lebih lanjut Sadikin (2005) menjelaskan beberapa ciri
gerakan sosial yang meliputi pertama, gerakan sosial adalah salah satu bentuk
perilaku atau tindakan kolektif oleh sekumpulan orang atau kelompok. Kedua,
gerakan selalu bertujuan melakukan perubahan sosial atau mempertahankan sebuah
kondisi. Ketiga, gerakan sosial tidak identik
dengan gerakan politik untuk memperebutkan kekuasaan. Keempat, gerakan sosial
merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, baik formal maupun tidak.
Saat ini kajian tentang perkembangan gerakan sosial
mengarah kepada empat fase perkembangan gerakan sosial. Nugroho dan Yon (2011)
menjelaskan empat fase tersebut ialah kemunculan (emergence), koalisi (coalescence),
institusionalisasi (institutionalization), dan
surut (decline). Fase kemuculan merupakan fase
awal dimana gerakan sosial muncul karena ketidakpuasan sekelompok individu
terhadap suatu keadaan, sehingga memiliki keinginan untuk memperbaiki keadaan
tersebut, akan tetapi berbagai individu ataupun kelompok muncul dengan cara
masing-masing yang diyakini kebenarannya. Fase ini akan berkembang ke fase
koalisi apabila berbagai individu dan kelompok yang berbeda paham telah
memiliki satu kesepahaman dan visi bersama, pada fase ini sejumlah hambatan
mulai teratasi. Selanjutnya tahap institusionalisasi ialah tahap dimana gerakan
sosial dapat dikatan menemukan bentuk dan kemapanan, sejumlah syarat formal dan
administratif mulai dibangun, akses dan jaringan kepada orgnaisasi politik semakin
lebar. Terakhir ialah fase surut, pada fase ini sebenarnya tidak identik dengan
fase kegagalan, namun menunjukkan bahwa perkembangan gerakan sampai pada tahap
akhir gerakan.
Dalam
sosiologi secara harfiah, Soekanto (1999) memaknai komunitas sebagai masyarakat
setempat. Komunitas dapat diartikan juga sebagai sekumpulan anggota masyarakat
yang hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka dapat merasakan dapat
memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama. Komunitas dapat pula dimaknai
sebagai sebuah kelompok dari suatu masyarakat (forming a distinct segment of
society), atau sebagai sekelompok orang yang hidup di satu
area khusus (a group of people living in a particular local area) yang memiliki
karakteristik etnik dan kultural yang sama. Salah satu ciri
khasnya adalah mereka memiliki sesuatu secara bersama-sama (common
ownership). Lebih lanjut Hawe
(1994) dalam Sunarto (1993) mendefinisikan komunitas sebagai kumpulan orang
dengan tiga alasan pengelompokan: secara geografis, secara demografis, dan
secara lembaga (entitas) sosial. Kita dapat menyebut kumpulan orang dalam satu
wilayah rukun tetangga adalah komunitas (secara geografis), atau kumpulan orang
berambut panjang sebagai komunitas rambut panjang (demografis), dan ketika
komunitas rambut panjang bergabung dalam kelompok suporter sepak bola BCS, maka
disebut sebagai komunitas organisasi sosial. Sehingga berbicara soal komunitas, dapat dipandang dari berbagai perspektif, dan tentu
tidak dapat pisahkan dari kondisi sosial masyarakat di suatu desa di mana
komunitas tersebut berada. Meskipun beberapa kelompok masyarakat tertentu dalam
satu desa yang sama tidak dapat disebut sebagai komunitas pesisir misalnya, akan
tetapi keduanya dapat dipengaruhi oleh aturan yang sama, misal peraturan desa yang
bersumber dari pemerintah desa. Sehingga konsep pengembangan gerakan sosial
untuk komunitas pesisir, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sosial di
wilayah suatu desa.
Reference:
Nugroho Kharisma dan Yon Kwan Men, 2011, Pengurangan Risiko Bencana Berbasis
Komunitas di Indonesia, Grasindo, Jakarta
Scheimann William, 2009, Alignment,
Capability, Engagement:
Pendekatan Baru Talent Management untuk Mendongkrak Kinerja Organisasi
(terjemahan), PPM Manajemen, Jakarta
Sunarto Kamanto, 1993, Pengantar Sosiologi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta