Minggu, 17 Mei 2015

Pengembangan Gerakan PRB Komunitas Pesisir




Tantangan dalam pengembangan masyarakat pesisir sangatlah kompleks, sebagai komunitas yang masih dianggap marginal dengan tingkat pendidikan yang rendah harus menghadapi kenyataan bahwa wilayah mereka memiliki potensi ancaman bencana yang besar yakni gempabumi, tsunami, abrasi serta kemungkinan ancaman lainnya. Menyoal tentang ancaman bencana kepesisiran, Indonesia memiliki banyak pengalaman menghadapi bencana kepesisiran, terutama yang berada di sepanjang jalur busur Sirkum Mediterania dan Pasifik. Tiga kali tsunami besar dalam kurun 20 tahun terakhir, Banyuwangi 1994, Aceh 2004, dan Pangandaran 2006. Gempabumi yang kuat maupun lemah akibat subduksi lempeng Eurasia dengan Indo-Australia serta persebaran sesar aktif di beberapa wilayah pesisir. Belum lagi abrasi yang menghancurkan ekosistim pesisir dan fasilitas produktif. Pengalaman tersebut telah memberikan pembelajaran secara langsung kepada masyarakat pesisir. Pengalaman atau relasi masyarakat dengan alam, yang kemudian menjadi pengetahuan dan prinsip berperikehidupan masyarakat lokal membentuk mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism) yang teratur secara turun temurun (Maarif, dkk, 2012). Contoh smong dalam masyarakat Simeule untuk menghadapi tsunami, rumah adat Nias untuk mengantisipasi gempabumi, dan pohon sawo kecik dalam masyarakat Jawa untuk penangkal petir. model mekanisme ini tentu memerlukan waktu yang tidak singkat hingga menjadi sistim pengetahuan lokal (local knowledge). Namun ada pula respon masyarakat yang berupa tindakan-tindakan sesaat yang bersifat naluriah baik individu maupun kelompok dalam jangka pendek untuk mengakses kebutuhan dasar serta meredam ancaman. Misalnya saja seperti gotong royong pembersihan sungai, penanaman vegetasi pesisir, penggalangan dana untuk pembuatan tanggul, dll. Respon dan tindaka-tindakan tersebut yang kemudian disebut sebagai gerakan sosial dalam konteks Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Touraine (1998) mengatakan bahwa gerakan sosial merupakan aksi kolektif untuk memodifikasi cara-cara sosial dalam memanfaatkan sumber daya yang penting dan orientasi kultural yang dapat diterima masyarakat (Nugroho dan Yon, 2011). Lebih lanjut Sadikin (2005) menjelaskan beberapa ciri gerakan sosial yang meliputi pertama, gerakan sosial adalah salah satu bentuk perilaku atau tindakan kolektif oleh sekumpulan orang atau kelompok. Kedua, gerakan selalu bertujuan melakukan perubahan sosial atau mempertahankan sebuah kondisi. Ketiga, gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik untuk memperebutkan kekuasaan. Keempat, gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, baik formal maupun tidak.
Saat ini kajian tentang perkembangan gerakan sosial mengarah kepada empat fase perkembangan gerakan sosial. Nugroho dan Yon (2011) menjelaskan empat fase tersebut ialah kemunculan (emergence), koalisi (coalescence), institusionalisasi (institutionalization), dan surut (decline). Fase kemuculan merupakan fase awal dimana gerakan sosial muncul karena ketidakpuasan sekelompok individu terhadap suatu keadaan, sehingga memiliki keinginan untuk memperbaiki keadaan tersebut, akan tetapi berbagai individu ataupun kelompok muncul dengan cara masing-masing yang diyakini kebenarannya. Fase ini akan berkembang ke fase koalisi apabila berbagai individu dan kelompok yang berbeda paham telah memiliki satu kesepahaman dan visi bersama, pada fase ini sejumlah hambatan mulai teratasi. Selanjutnya tahap institusionalisasi ialah tahap dimana gerakan sosial dapat dikatan menemukan bentuk dan kemapanan, sejumlah syarat formal dan administratif mulai dibangun, akses dan jaringan kepada orgnaisasi politik semakin lebar. Terakhir ialah fase surut, pada fase ini sebenarnya tidak identik dengan fase kegagalan, namun menunjukkan bahwa perkembangan gerakan sampai pada tahap akhir gerakan.  
 Dalam sosiologi secara harfiah, Soekanto (1999) memaknai komunitas sebagai masyarakat setempat. Komunitas dapat diartikan juga sebagai sekumpulan anggota masyarakat yang hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka dapat merasakan dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama. Komunitas dapat pula dimaknai sebagai sebuah kelompok dari suatu masyarakat (forming a distinct segment of society), atau sebagai sekelompok orang yang hidup di satu area khusus (a group of people living in a particular local area) yang memiliki karakteristik etnik dan kultural yang sama. Salah satu ciri khasnya adalah mereka memiliki sesuatu secara bersama-sama (common ownership). Lebih lanjut Hawe (1994) dalam Sunarto (1993) mendefinisikan komunitas sebagai kumpulan orang dengan tiga alasan pengelompokan: secara geografis, secara demografis, dan secara lembaga (entitas) sosial. Kita dapat menyebut kumpulan orang dalam satu wilayah rukun tetangga adalah komunitas (secara geografis), atau kumpulan orang berambut panjang sebagai komunitas rambut panjang (demografis), dan ketika komunitas rambut panjang bergabung dalam kelompok suporter sepak bola BCS, maka disebut sebagai komunitas organisasi sosial. Sehingga berbicara soal komunitas, dapat dipandang dari berbagai perspektif, dan tentu tidak dapat pisahkan dari kondisi sosial masyarakat di suatu desa di mana komunitas tersebut berada. Meskipun beberapa kelompok masyarakat tertentu dalam satu desa yang sama tidak dapat disebut sebagai komunitas pesisir misalnya, akan tetapi keduanya dapat dipengaruhi oleh aturan yang sama, misal peraturan desa yang bersumber dari pemerintah desa. Sehingga konsep pengembangan gerakan sosial untuk komunitas pesisir, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sosial di wilayah suatu desa.


Reference:
Nugroho Kharisma dan Yon Kwan Men, 2011, Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Indonesia, Grasindo, Jakarta
Scheimann William, 2009, Alignment, Capability, Engagement: Pendekatan Baru Talent Management untuk Mendongkrak Kinerja Organisasi (terjemahan), PPM Manajemen, Jakarta
Sunarto Kamanto, 1993, Pengantar Sosiologi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta