Minggu, 08 Juni 2014

Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat dengan Mengupayakan Pengembangan Masyarakat Pantai.

Mohamad Mambaus Su'ud, M.Sc
(Master of Disaster Management)

Strategi pengembangan masyarakat pantai dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, yang bersifat struktural dan non struktural. Pendekatan structural adalah pendekatan makro yang menekankan pada penataan sistem dan struktur social politik. Pendekatan ini mengutamakan peranan instansi yang berwewenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan pesisir laut. Dalam hal ini peranan masyarakat sangat penting tetapi akan kurang kuat karena aspek struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan, paling tidak pada tahap awal. Dilain pihak pendekatan non struktural adalah pendekatan yang subyektif. Pendekatan ini mengutamakan pemberdayaan masyarakat secara mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan dan persoalan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut harus saling melengkapi dan dilaksanakan secara integratif.



Sumber: http://goresanpenaseru.blogspot.com

1. Pendekatan struktural.
Sasaran utama pendekatan struktural adalah tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan sistem kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek struktural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selain itu penataan struktur dan sistem hubungan sosial dan ekonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melindungi sumber daya alam dari ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus menerus menempatkan masyarakat (lokal) pada posisi yang sulit. Pendekatan struktural membutuhkan langkah-langkah strategi sebagai berikut :

a. Pengembangan Aksesibilitas Masyarakat pada SumberDaya alam
Aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya alam adalah salah satu isu penting dalam rangka membangun perekonomian masyarakat. Langkah tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat untuk dapat menikmati peluang pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan (sustainable).

b. Pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan.
Keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut sangat tergantung pada ketepatan kebijakan yang diambil. Kebijakan yang dikembangkan dengan melibatkan dan memperhatikan kepentingan masyarakat dan menjamin keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan wilayah. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu juga memberikan keuntungan ganda : pertama, dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga akan mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu yang lebih penting lagi adalah adanya upaya untuk
meningkatkan kepentingan hakiki masyarakat yaitu kesejahteraan.

d. Peningkatan aksebilitas masyarakat terhadap informasi.
Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat pantai sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi mengenai potensi dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah tersebut.

e. Pengembangan kapasitas kelembagaan.
Untuk meningkatkan peran masyarakat dalam perlindungan wilayah dan sumber daya alam, diperlukan kelembagaan sosial, untuk mendorong peranan masyarakat secara kolektif. Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam perekonomian. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial diharapkan untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi manajemen wilayah pesisir dan laut

f. Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat.
Keberadaan sistem pengawasan yang efektif merupakan syarat utama keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Sistem pengawasan tersebut harus mampu menjalankan fungsinya dengan cara memobilisasi semua unsur terkait. Salah satu pendekatan yang efektif adalah pengembangan sistem pengawasan berbasis pada masyarakat. Sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat adalah suatu sistem yang dilandasi oleh kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal. Untuk itu, sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat tersebut selain memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut mengawasi sumber daya alam dan wilayah tempat mereka tinggal dan mencari makan, juga memperkuat rasa kebersamaan masyarakat dalam mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini dapat dilakukan melalui lembaga sosial masyarakat pantai (nelayan).

g. Pengembangan jaringan pendukung.
Pengembangan koordinasi tersebut mencakup pembentukan sistem jaringan manajemen yang dapat saling membantu. Koordinasi melibatkan seluruh unsur terkait (stakeholders), baik jaringan pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha.

2. Pendekatan Subyektif.
Pendekatan subyektif (non struktural) adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam disekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain yaitu :
a. Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan.
b. Pengembangan keterampilan masyarakat
c. Pengembangan kapasitas masyarakat.
d. Pengembangan kualitas diri
e. Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperanserta
f. Penggalian & pengembangan nilai tradisional masyarakat.


RFERENCE

Costanza, R. (Ed.) (1991) Ecological Economics: The Science and Management of
            Sustainability, New York: Columbia University Press.

Harbinson dan Myers,1965, Manpower and Education : Country Studies in Economic
Development

Kay, R. and Alder, J. (1999) Coastal Management and Planning, E & FN SPON, New
York

Moh. Manshur Hidayat & Surochiem As, Artikel Maritim : Pokok-Pokok Strategi
Pengembangan Masyarakat Pantai Dalam Mendorong Kemandirian Daerah,
Ridev Institute Surabaya

Rokhimin D,1999, Prosiding : Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu
Berbasis Masyarakat. Kerjasama Direktorat Jenderal Pembengunan Daerah

dengan Coastal Recsources Management Project (CRMP/CRC-URI). Jakarta.
Rudy C Tarumingkeng,, (2001) Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan,
http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/grp_paper01/kel1_012.htm,


Kamis, 05 Juni 2014

An Opinion: Kontribusi Sekolah dalam Penyelesaian Masalah Kebencanaan



Mohamad Mambaus Su'ud, M.Sc
(Master of Disaster Management)

Issu permasalah yang saat ini sedang banyak melanda bangsa yang tak kalah penting selain penegakan hukum, korupsi, demokrasi, kedaulatan negara, dll. adalah pengelolaan bencana. Bagaimanapun kejadian bencana yang melanda di hampir seluruh wilayah nusantara, telah mereduksi dan memperlambat upaya pembangunan bangsa. Kerugian di berbagai sektor telah menunjukkan bagaimana bencana itu merupakan "musuh" yang harus di taklukkan.

Pengedepanan tentang pengurangan risiko bencana (PRB) yang telah terkonsep dari Rencana Aksi Nasional (RAN) tahun 2010-2012 harus dapat diterjemahkan dalam kegaiatan yang konkrit. Tidak hanya pembentukan dan pengauatan lembaga yang berperan dalam penanggulangan bencana semisal BNPB dan BPBD tetapi juga perlu membelajarkan pengetahuan kebencanaan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Jika saat ini telah dikedepankan pendidikan demokrasi, anti korupsi, dan anti kekerasan di sekolah, maka pendidikan PRB harusnya juga menjadi materi yang tak kalah penting. Terdapat tujuan penting mengapa pemahaman tentang PRB perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah?, yakni tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek tidak lain untuk meningkatkan kapasitas warga sekolah guna mengurangi risiko apabila suatu bencana terjadi. Lingkungan sekolah menjadi lokasi yang memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi dan memungkinkan banyak jatuhnya korban bila bencana terjadi, terlebih lagi pada sekolah PAUD, TK, dan SD yang notabene masih sangat tergantung arahan orang tua ataupun guru. Di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa anak-anak merupakan salah satu yang termasuk kelompok rentan selain lansia, orang cacat, dan ibu hamil. Kita semua tahu bahwa sekolah merupakan lokasi berkumpulnya puluhan bahkan ratusan anak yang setidaknya waktu mereka habiskan disekolah selama 5-7 jam.

Sedangkan tujuan jangka panjang dari memahamkan PRB kepada warga sekolah ialah menanamkan sejak dini ilmu pengetahuan kebencanaan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Apabila suatu pengetahuan telah tertanam dalam setiap generasi masyarakat, maka ini merupakan “storage” sebagai mitigasi dan kesiapsiagaan, dengan memory yang terus terjaga maka tidak akan terputus oleh generasi tertentu. Erupsi Merapi tahun 2010 telah memberikan pelajaran berharga betapa pentingnya memori pengetahuan kebencanaan dalam masyarakat harus tetap terjaga. Erupsi tahun 2010 tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan dengan bencana serupa dalam lima kejadian sebelumnya, yaitu kejadian pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2006. Akibat dari erupsi 2010 sangat signifikan, tercatat jumlah korban jiwa sebanyak 242 orang meninggal di wilayah DI Yogyakarta dan 97 orang meninggal di wilayah Jawa Tengah (sumber: DiBi BNPB). Karena memang Erupsi tahun 2010 merupakan siklus erupsi 100 tahunan yang cerita dan pengetahuan di masyarakat terputus pada generasi tertentu.

Dua tujuan tersebut merupakan gambaran singkat betapa pentingnya kurikulum kebencanaan dibangun. Namun sampai saat ini hampir belum terdapat sekolah yang menerapkan kurikulum tersebut. Salah satu alasan yang sering dilontarkan adalah beban belajar yang sudah terlalu tinggi jika ilmu pengetahuan kebencanaan dijadikan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sehingga mulai muncullah alternatif bahwa ilmu pengetahuan kebencanaan tidak harus berdiri sebagai mata pelajaran sendiri, namun dapat diintegrasikan dengan kurikulum sekolah yang ada dengan memasukkan materi kebencanaan pada mata pelajaran tertentu. Pengintegrasian pengetahuan kebencanaan ke dalam mata pelajaran, memang menjadi tantangan tersendiri bagi guru pengampu mata pelajaran tersebut. Guru dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang kebencanaan yang tidak hanya teori tetapi juga praktik, guru juga dituntut untuk mengaitkan tema kebencanaan dengan materi yang diampunya. Tentu sebelum menyampaikannya ke siswa, guru juga dituntut membuat indikator pembelajaran baru yang di dalamnya telah memasukkan tema kebencanaan.  Hal inilah yang mungkin menjadi alasana mengapa sampai hari ini alternatif mengintegrasikan pengetahuan kebencanaan ke dalam kurikulum sekolah masih mandeg dan stagnan pada ranah wacana.
                                            Sumber: http://sinarharapan.co/news/

Alternatif lain yang barangkali sangat mungkin dapat segera diterapkan adalah dengan membuat ekstrakurikuler sekolah yang kegiatannya fokus pada issu kebencanaan atau dapat pula dilebur dalam kegiatan ekstrakurikuler yang telah ada, semisal Pramuka, PMR, KIR, dll. Meski pada dasarnya kegiatan ekstrakulrikuler tidak mewajibkan seluruh siswa di sekolah tertentu untuk menjadi anggotanya, namun setidaknya dengan keberadaan kegiatan ekstra dapat menjadi “embrio” terwujudnya kurikulum kebencanaan. Penulis yakin ekstrakurikuler semacam ini dapat menarik minat banyak siswa, terlebih lagi apabila dibimbing atau di supervisi para praktisi dibidang kebencanaan dan memilki program yang bermanfaat langsung bagi masyarakat sekitar. Di dalam kegiatan ekstrakurikuler siswa dapat lebih ekspresif, sehingga siswa menyenangi setiap kegiatan yang mereka ikuti, jika sudah demikian siswa tersebut akan dengan mudah menularkan pengetahuan dan keterampilan mereka kepada teman sebayanya.

Rabu, 04 Juni 2014

Kesulitan Pemerintah Bersinergi dengan Masyarakat dalam Mitigasi dan Kesiapsiagaan

Mohamad Mambaus Su'ud, M.Sc
(Master of Disaster Management)
Istilah pemerintah sangat erat kaitannya dengan birokrasi, berbagai definisi telah menggambarkan tentang birokrasi. Dan kesemuanya mengarah pada definisi bahwa birokrasi merupakan suatu sitem kontrol dalam sebuah organisasi yang dirancang berlandaskan aturan-aturan rasional dan sistematis yang bertujian untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan individu-individu yang terlibat dalam rangka menyelesaikan masalah administratif. Dengan aturan yang telah tersistem inilah individu-individu dalam pemerintahan diarahkan. Untuk membenarkan tindakan mereka dalam lingkaran sistem tersebut maka diciptakanlah regulasi. Maka disini kemudaian birokrasi berfungsi menjadi sebuah regulasi yang harus ditaati.

 
Akan tetapi dalam perjalanannya, regulasi yang disusun atas nama kepentingan publik manjadi benteng bahkan pembenaran atas malpraktik yang mungkin dapat berlangsung. Sebagai pengambil keputusan (policy makers), mereka memanfaatkan birokrasi sebagai instrumen untuk mengelola kontroversi yang terjadi di level publik. Bahkan, dengan regulasi pemerintah dapat memaksanakan keputusan demi kepentingan publik. Dengan adanya birokrasi, maka diharapkan kinerja pemerintah memiliki acuan yang jelas dan sama serta bersifat impersonal (tidak pribadi), agar tidak dituduh melakukan tindakannya demi kepentingannya sendiri. Oleh karenanya, acuan formal menjadi satu-satunya instrumen untuk mengukur kinerja kolektif birokrasi. Sehingga diharapkan dengan formalitas, segala sesuatu yang menyangkut kinerja birokrasi menjadi jelas dan pasti.
 
Namun formalisme tersebut agaknya menjadi kontra produktif jika dikaitkan dengan konteks penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Dalam konteks itu, sistem penanggulangan bencana yang dirumuskan oleh birokrasi harus melibatkan masyarakat secara total. Termasuk di dalamnya sikap mental masyarakat. Di dalam sistim mitigasi, keterlibatan mental masyarakat dapat dimaksudkan sebagai keterlibatan sistem pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal. Pengetahuan dan kearifan lokal yang sudah turun temurun dari generasi ke generasi membuktikan bahwa dengan kearifan lokal masyarakat dapat melestarikan lingkungan di mana mereka tinggal.  Secara teoritik mitigasi (mitigation) didefinisikan sebagai upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. 


Konsepsi ilmu pengetahuan modern, mengelompokkan mitigasi menjadi dua jenis, mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitgasi struktural untuk gempabumi dapat dilakukan dengan mengembangkan bangunan tahan gempabumi, mikrozonasi wilayah terancam, dan lain-lain. Untuk mitigasi struktural tsunami meliputi pembuatan break water (pemecah gelombang), sea wall (tembok laut), shelter (tempat perlindungan), artificial hill (bukit buatan), dan lain-lain. Sedangkan mitigasi non struktural meliputi pendidikan kebencanaan, pelatihan, penyadaran masyarakat, penataan tata ruang, penyadaran masyarakat, peraturan perundangan, dan lain-lain (Diposaptono, 2008). 


Sementara mitigasi struktural sendiri dibedaan lagi menjadi dua jenis yaitu alami dan buatan. Mitigasi struktural alami dapat dilakukan dengan penanaman green belt (sabuk hijau), sedangkan mitigasi struktural buatan dapat dilakukan dengan pembuatan sea wall (tembok laut), shelter (tempat perlindungan), artificial hill (bukit buatan). Ilmu pengetahuan modern saat ini juga telah banyak mengembangkan parameter-parameter kesiapsiagaan. Seperti yang telah dikerjakan LIPI dengan mengembangkan kerangka kerja pengukuran kesiapsagaan yang mengacu pada lima parameter utama. Kelima parameter tersebut antara lain yaitu (1) pengetahuan dan sikap; (2) kebijakan dan panduan; (3) rencana tanggap darurat; (4) sistem peringatan bencana; dan (5) mobilisasi sumberdaya.

Dikarenakan acuan kerja pemerintah harus berlandaskan formalisme yang jelas dan terkuantifikasi dengan baik. Maka kemudian Kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih terkonsentrasi pada pembanguan yang bersifat fisik, yang cenderung mengarah pada proyek jangka pendek dan kurang memperhatikan sisi keberlanjutan program itu sendiri. Karena bagi pemerintah, apabila anggaran sudah terserap dan terbelanjakan sesuai sasaran serta dapat dipertanggungjawabkan sudah merupakan langkah yang aman. Sikap seperti ini juga menjalar terhadap kegiatan mitigasi bencana, pemerintah lebih mudah untuk segera membangun sarana fisik daripada memperkuat sikap dan mental masyarakat dalam menghadapi bencana. Artinya bahwa pemerintah masih cenderung lebih menyukai membangun mitigasi struktural daripada membangun/memperhatikan mitigasi non struktural. Padahal dengan membangun mitigasi non struktural (pengetahuan dan sikap mental) akan dapat menjamin keberlanjutan sarana mitigasi struktural.


Tantangan turunan agar pemerintah melibatkan sikap mental masyarakat juga dalam rangka menjawab kemampuan pemerintah dalam melaksanaan paradigma bottom-up utamanya dalam sistem penanggulangan bencana. Tentu tidak diharapkan jika dalam jargon pembangunan “bottom up” terdapat pengecualian. Memamng harus diakui bahwa dalam melaksanakan pembangunan masyarakat (community development) yang penting harus dipertimbangkan adalah keberlanjutan (sustainable) program. Begitu pula dalam membangun mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Menurut Soetrisno (1995) Keberlanjutan agenda pemerintah di dalam masyarakat ditentukan seberapa besar keterlibatan masyarakat dalam agenda tersebut, semakin besar pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam pembangunan, maka semakin besar pula kemungkinan keberlanjutan program yang dijalankan. Keberlanjutan pembangunan bisa terjadi jika sikap mental masyarakat juga dilibatkan, sehingga masyarakat bukan hanya terlibat dalam sumbangsih tenaga, uang, maupun fikiran saja.


Meskipun sistim penanggulangan bencana yang saat ini dikembangkan pemerintah terhitung baru. Namun tidak diharapkan pula bahwa sistim penanggulangan bencana akan mundur. Dimana dalam mengimplementasikan peran serta masyarakat, Pemerintah mempersiapkan instrumen hukum yang mengatur peranserta masyarakat di semua sektor kebijakan dan membentuk lembaga-lembaga sebagai saluran partisipasi warga seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Organisasi fungsional seperti organisasi petani (HKTI), organisasi buruh (SPSI) dan lain-lain. Karena jika hal tersebut terjadi, setiap individu hanya bisa menyalurkan partisipasinya melalui organisasi yang sesuai dengan bidangnya. Kebijakan itu menguntungkan pemerintah karena dapat digunakan untuk memobilisasi sumberdaya baik tenaga, dana, maupun sumberdaya alam untuk menyukseskan program pembangunan, sekaligus lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk mengontrol keberadaan perkembangan organaisasi sosial yang tumbuh di masyarakat. Jika hal semacam ini yang terjadi, maka sudah tentu sinergi antara pemerintah dengan masyarakat tidak akan kunjung terwujud.


Kita perlu khawatir karena paradigma pemerintahan bottom up yang diagung-agungkan saat ini, rupanya belum diterjemahkan dengan baik dalam pelaksanaan sistem penanggulangan bencana. Hal ini ditunjukkan dari penelitian Handayani (2011) Prodi Ilmu Administrasi negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tentang partisipasi masyarakat dan peran pemerintah dalam manajemen bencana di Kabupaten Serang, Banten menunjukkan bahwa pemerintah cenderung menerapkan pendekatan ”atas ke bawah (top down)” dalam perencanaan manajemen bencana dimana kelompok sasaran/masyarakat diberi solusi-solusi yang dirancang untuk mereka oleh para perencana dan bukannya dipilih oleh masyarakat sendiri. Meskipun telah dikembangkan Kampung Siaga Bencana yang merupakan representasi dari program penanggulangan bencana berbasis masyarakat (Community Base Disarter Management) yaitu sebagai bentuk upaya pelembagaan penanggulangan bencana pada daerah rawan bencana yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat dalam rangka menanamkan sikap kesiapsiagaan penanggulangan bencana.


Pendekatan dengan cara-cara top down cenderung mendekatkan tindakan-tindakan manajemen bencana fisik dibandingkan perubahan-perubahan sosial untuk membangun sumberdaya dari kelompok yang rentan. Jarang tercapai tujuan masyarakat karena pemerintah bertindak atas gejala-gejala dan bukan atas penyebabnya, dan gagal merespon kebutuhan riil dan tuntutan dari masyarakat.

Referensi:

Atmoko Tjipto, 2011, Partisipasi Publik dan Birokratisme Pembangunan, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 3 Bulan Juli-September 2011 

Diposaptono Subandono, 2008, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, Bogor: PT Sarana Komunikasi Utama


Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011: ISBN: 978-602-96848-2-7 LAB-ANE FISIP Untirta [207], Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2011, Analisis Partisipasi Masyarakat Dan Peran Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Manajemen Bencana Di Kabupaten Serang Provinsi Banten, Riny Handayani: FISISP 


Soetrisno Loekman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius  

UNISDR, 2005, Hyogo Framework for Action: Building Resilience of Nation and Communities to Disaster, Kobe: UNISDR